Elegi dalam sebuah prolog...
Singapura merupakan negara terakhir sekaligus
menjadi negara penutup perjalanan trilogy
Thailand-Malaysia-Singapura kali ini. Perjalanan yang menjadi pencapaian
luar biasa untuk seorang backpacker anak bawang yang mempunyai impian besar
menjejakkan kakinya ke altar suci
Sorbonne* (kutipan dari novel Laskar Pelangi). Saya mulai menyadari kalau backpacking
bukan sekedar ajang jalan-jalan semata, karena sejak perencanaan awal kita
sudah ditantang untuk mengatasi masalah demi masalah yang menghampiri. Masalah-masalah
itu akan menjadikan kita individu yang berbeda, seorang individu yang
benar-benar baru. Kita seakan terlahir kembali dari jeratan kelam yang namanya
rutinitas.
Coba bayangkan sebagai mahasiswa yang hanya diberi
uang saku Rp 25.000/ hari, jalan-jalan keluar negeri bisa dikatakan cuma mimpi
di siang bolong. Teman-teman saya sering bilang “ah, omdo (omong doang) kalau lo bisa ke luar negeri”. Mulai dari situ
keyakinan kita terhadap diri sendiri akan diuji. Sejujurnya perkataan teman
saya ada benarnya kalau melihat kondisi keuangan dan kesibukan saat itu,
apalagi saya masih belum lulus kuliah... eh, malah nyeleneh mau jalan-jalan buang waktu dan uang. Gila, ya..?
Mungkin waktu itu saya memang gila karena dengan pede-nya bilang ke teman-teman akan
backpacking menaklukkan daratan Eropa (efek membaca novel Laskar Pelangi Andrea
Hirata), apalagi saat itu saya sudah beli buku-buku “traveling hemat ke luar negeri”. Namun apa lacur (bahasanya mantep,
ya? wkwkwk...), ketika angan dituangkan ke dalam dunia nyata dan ternyata
terjadi aksi tolak-menolak kita harus berkompromi dengan yang namanya KENYATAAN
(duh...). Saya seakan merasa
terbodohi dengan buku-buku yang menulis embel-embel
“Backpacking murah ke Eropa”, “Keliling Eropa cuma 10 juta”, dan masih banyak “gula-gula”
lainnya. Disaat saya mulai serius dengan impian ke Eropa, lamunan saya buyar
karena kenyataannya untuk pergi ke benua biru tidak semurah yang tertulis di
buku. Judul-judul indah tersebut sebenarnya hanya pemanis marketing bak celotehan sales MLM belaka.
Setelah ditelusuri dan turun ke lapangan untuk
mendapatkan visa Eropa saja kita harus punya tabungan minimal 20 juta atau
mungkin lebih, beli ansuransi, tiket pesawat seharga biaya kuliah saya 7
semester, dan masih banyak lagi. Kalau diteruskan mungkin akan membuat kita
pesimis seumur hidup bisa melihat menara Eiffel, hahaha... Bahkan untuk pesan
tiket pesawat saja kadang diharuskan memakai kartu kredit. Untuk ukuran
mahasiswa siapa yang sanggup mengajukan aplikasi kartu kredit yang mengharuskan
memiliki penghasilan 25 juta/ tahun? Yang lebih konyol lagi, tak jarang biaya
di lapangan tidak persis sama dengan yang ada di buku-buku itu. Di buku ditulis
untuk keliling Eropa 6 bulan hanya butuh 10 juta, ternyata itu belum termasuk
makan, belum termasuk biaya penginapan, atau malah belum termasuk tiket pesawat
(bangke beut). Loh, jadi orang-orang
penulis buku itu bilang diri mereka backpacker kere, traveler miskin, atau semacamnya padahal mereka punya kartu
kredit di dompet, punya simpanan puluhan juta di tabungan, dan kerabat di luar negeri, ckckck....
Untuk itu saya harus merombak ulang strategi untuk
“menginvasi” Eropa. Ibarat tangga, mungkin saya harus memulainya dari anak
tangga terendah. Daratan Eropa masih terlalu suci untuk diinjak tanahnya oleh
seorang mahasiswa seperti saya (tapi sekarang sudah lulus, weee....).
Backpacking trilogy Thailand –
Malaysia – Singapura telah menjadi anak-anak tangga yang akan mengantarkan saya
ke singgasana kerajaan Eropa. Sampai dimana sih, batasan impian seseorang? Maksud
saya dimana batasan antara sebuah mimpi gila dengan mimpi yang bisa kita
realisasikan dari angan menjadi kenyataan? Sudah saya singgung sebelumnya,
bahkan untuk pergi ketiga negara ini saja banyak teman-teman yang tidak setuju
dengan keputusan gila saya yang lebih memilih backpacking daripada mengerjakan
skripsi. Namun setelah sampai di Singapura, saya baru tahu JAWABANNYA. Mana
mimpi yang harus kita abaikan dan mana mimpi yang kita harus perjuangkan sampai
akhir.
Anak-anak tangga impian...
Bis yang mengantar saya dari Kuala Lumpur meluncur
cepat di jalan tol yang mulus menuju Singapura. Kualitas jalan tol di Malaysia
lebih baik daripada di Thailand. Jalan di sini hampir sama dengan di Indonesia
yaitu campuran aspal hot mix. Karena
tidak ada yang dikerjakan selama perjalanan saya tidur saja di dalam bis.
Sampai di Kota Bahru, bis berhenti sebentar untuk mempersilakan penumpang makan
siang. Saat itu, saya sudah tidak punya uang ringgit lagi jadi terpaksa bengong melihat orang-orang yang sedang
makan,hehe... Tak lama, bis pun kembali melanjutkan perjalanan.
Beberapa saat kemudian tampak sebuah jembatan
panjang membentang dihadapan saya. Itu menandakan saya sudah sampai di Woodland
perbatasan Malaysia - Singapura. Semua penumpang disuruh turun dari bis tanpa
membawa barang bawaan, karena kita hanya dicap paspor di pos bagian Malaysia.
Sedangkan di pos bagian Singapura, semua penumpang turun sambil membawa barang
bawaan. Dasar sial, saya lupa melengkapi kartu imigrasi kedatangan (kartu yang
berwarna putih). Di saat semua orang sudah selesai melewati imigrasi, tinggal
saya seorang yang masih kerepotan mengisi lembar kedatangan. Petugas pun
memanggil saya, “hey, you! hurry up!
hurry up!”. Saya bilang “wait a
minute”. Mungkin karena tidak sabaran akhirnya saya dihampiri petugas dan
dia bilang kalau saya tidak perlu mengisi lembar imigrasi lagi. “You wait here!”, kata dia setengah
membentak. Wah... Saya pikir urusannya bakal panjang kalau seperti ini. muka
saya sudah pucat,haha... Saat itu, saya pun diliputi suatu perasaan yang tidak
bisa ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hehe... (lebay).
Perasaan saya campur aduk. Bernafas pun terasa
berat. Saya jadi satu-satunya penumpang yang masih di ruang imigrasi. Tiba-tiba
ada petugas datang dan saya diminta (lebih tepatnya disuruh) untuk
mengikutinya. Berbagai pintu akses saya lewati, mulai dari yang pakai kartu
sampai yang pakai nomor sandi. Akan dibawa kemana saya. Jangan-jangan saya
bakal disiksa seperti di film-film, hahaha.... Setelah jalan agak jauh, saya memasuki
sebuah ruangan seperti lobi yang di dalamnya sudah ada beberapa orang yang
senasib sepenanggungan. Fiuh...
sepertinya saya tidak sendirian. Legaaa...
|
Bersiap untuk diinvestigasi petugas imigrasi |
Semua orang di dalam ruangan semua bermuka pucat
seperti baru dapat tagihan utang 1 milyar, wkwkwk... Lalu saya berinisiatif
untuk mencairkan suasana. Dengan gaya sok
santai, padahal dalam hati juga harap-harap cemas,haha... Saya katakan kepada
mereka kalau ini cuma pemeriksaan acak yang biasa dilakukan petugas. Saya bilang
jawab saja semua pertanyaan mereka, pasti kita akan dibebaskan (ngemeng banget). Tapi sepertinya mereka
sedikit tenang mendengar penjelasan saya :p. Dilihat dari penampilan memang
kita semua “sedikit” mencurigakan, haha... Kebanyakan dari mereka adalah orang
yang baru pertama kali backpacking dan ada juga orang yang mau kerja di
Singapura.
Setelah beberapa lama menunggu, kami dipanggil
satu-satu. Pikiran saya, “waduh bisa ditinggal bis kalau begini”. Beruntung
saya sudah banyak riset lewat internet, jadi saya tidak terlalu khawatir. Untuk
penumpang yang bermasalah dengan imigrasi, kita dapat menaiki bis berikutnya
dengan catatan dari perusahaan yang sama. Oleh sebab itu simpan baik-baik tiket
bis yang ada. Saya kemudian digiring menuju suatu ruangan investigasi bak penjahat buruan FBI, haha... Di
dalam ruangan sudah ada chief kantor
imigrasi dengan berbagai emblem terpasang
di dada yang cukup imidatif. Dia melirik paspor hijau saya. “cakap english?”, katanya. “yes, sir”, kata saya. Selama beberapa
menit saya diinterogasi mengenai tujuan saya ke Singapura. Saya jawab semua
pertanyaan dia dengan penuh percaya diri. Untuk lebih meyakinkan kalau saya
bukan ingin bekerja dan mampu membiayai perjalanan selama di Singapura, saya
bilang, “don’t worry, i have credit card”
sambil menunjukkan kartu ATM BNI, wkwkwk... Untung dia tidak ngeh kalau yang saya keluarkan itu cuma
kartu ATM yang sedikit mirip kartu kredit, haha... Kemudian dengan senyum indah
pepsodent, dia menginjinkan saya
melanjutkan perjalanan. “Welcome to
Singapore”, katanya.
|
Perbatasan bagian Singapura |
Dari semua yang ada di lobi cuma satu orang yang
harus kembali ke Malaysia, untung bukan saya. Akibat masalah remeh temeh tadi, saya kehilangan banyak
waktu untuk mencari penginapan. Saya sampai ke pusat kota menjelang sore dengan
menumpang bis reguler, karena bis yang saya tunggu tidak kunjung datang juga. Dan
untuk itu terpaksa saya harus keluar uang lagi. Emosi saya benar-benar diuji
ketika harus mencari penginapan. Satu demi satu penginapan yang ada di dalam
daftar saya datangi hanya untuk mendapat jawaban “sorry, we are full booked” duh... Keadaan tubuh yang lelah karena
puasa membuat saya agak gontai membawa dua tas yang penuh muatan.
Matahari di negeri singa ini rupanya cukup sangar, keringat saya pun bercucuran tak
habis-habisnya karena kombinasi cuaca panas, beban berat, ibadah puasa, dan
berjalan jauh. Setiap gang saya masuki untuk mencari penginapan tapi hasilnya
nihil padahal daftar penginapan di catatan hampir semua sudah saya datangi dan
semua penuh. Saya akhirnya menemukan warnet seharga 1 SGD/ jam. Kesempatan itu
saya gunakan untuk mencari hostel-hostel di sekitaran Little India yang mungkin
belum sempat saya periksa. Saya kemudian mencatat beberapa nama hostel dan
mulai mencari lagi. Asa sudah semakin menipis karena terlalu lama dan terlalu
jauh berjalan dengan membawa gembolan yang
beraaaat banget. Saya pun mulai
kehilangan akal sehat. Dompet di saku saya keluarkan. Saya intip masih ada 300
USD bersembunyi di sana, belum termasuk 5 juta di ATM. Wah, sepertinya harus pakai
taksi untuk mencari alamat-alamat yang ada. Bila perlu saya mau pakai HOTEL
saja (gak ada “S”-nya, CATET).
Sebenarnya naik taksi dan menginap di hotel untuk seorang backpacker adalah hal
TABU. Mungkin kalau sesama backpacker tahu akan menjadi bahan lawakan di
hostel. Tapi, kondisi saya benar-benar sudah lemas dan harus sedikit
merendahkan idealisme seorang backpacker. Dasar apes, beberapa taksi saya
panggil semuanya tidak mengetahui letak hostel-hostel yang ada di catatan.
Terpaksa saya jalan lagi (sompret...).
Untuk informasi sesama backpacker pemula, saya mau
kasih tahu beberapa hal tabu di dalam dunia backpacker. Yang saya jabarkan ini
sifatnya tidak mengikat, karena ini bukan aturan tertulis tetapi hanya aturan
umum saja yang berlaku di dalam backpacking. 1) Sebaiknya jangan menggunakan
taksi.
Selain biaya taksi yang bisa dua kali lipat dari
angkutan reguler, konsep penggunaan taksi hampir sama layaknya bos dengan
supirnya. Penumpang taksi merasa berada satu strata di atas supir taksi.
Padahal seorang backpacker mirip dengan kaum hippies yang jengah dengan kemapanan dan kapitalisme.
2) Sebaiknya cuci piring setelah sarapan dan
menaruh sendiri cover bed ke tempat
cucian.
Ada cerita lucu di hostel, pernah ada seorang
backpacker pemula yang tidak pernah mencuci piring sehabis makan entah karena
tidak tahu atau terbiasa di rumah seperti itu, sampai membuat karyawan hostel
kesal dan bilang kepadanya “hey, anak orang kaya! siapa yang mau cuci? gw bukan
pembantu lo!”. Jangan sampai kisah itu menjadi pengalaman pribadi, ya. Ingat, karyawan
hostel tugasnya untuk mencatat pembukuan tamu saja. Di hostel-hostel yang
banyak orang barat-nya, semua hal kita harus lakukan sendiri karena mereka
tidak mengenal yang namanya “pembantu”.
3) Backpacker jarang beli oleh-oleh.
Secara umum seorang backpacker sering berpindah
dari satu negara ke negara lain. Jadi kalau harus membeli oleh-oleh ketika
sampai di satu negara akan membuat kapasitas tas mereka penuh dan menambah pos
pengeluaran untuk hal yang tidak penting. Mereka lebih suka mempunyai
kenang-kenangan berupa foto daripada cinderamata. Tapi, karena kebanyakan orang
Indonesia paling banyak berkunjung ke 3 atau 4 negara saja, sehingga untuk
membeli oleh-oleh rasanya tidak terlalu memberatkan.
4) Jangan pakai koper.
Saya juga pernah dengar sebuah cerita lucu
lainnya. Suatu saat ada cowok yang
mau menginap di hostel dengan membawa koper. Dengan lugasnya petugas hostel
bilang “maaf! kalau hotel di sebelah sana”, wkwkwk...
Sebenarnya masih banyak aturan tidak tertulis
dalam dunia backpacker, sisanya bisa dicari di internet atau buku-buku seperti
Lonely Planet dan semacamnya.
Di jalan saya menemukan sebuah hotel yang
kelihatan cocok untuk semi-backpacker seperti saya. Saya lalu bertanya ke
resepsionis berapa rate satu malam di
hotel ini. Dia bilang harga untuk menginap satu malam adalah 100 SGD. Wah
lumayan juga harganya, pikir saya. Saat itu saya tidak langsung mengambil kamar
di hotel itu. Saya mau mencoba mencari hostel sekali lagi, kalau tidak ada baru
saya kembali ke sana. Kemudian saya berjalan satu blok, dua blok, tiga blok.
Ah, sudahlah. Saya menyerah saja. Hari sudah mulai gelap, azdan maghrib juga
sebentar lagi berkumandang. Saya lalu pergi ke 7 eleven untuk beli air minum. Busettt dah, air kemasan di Singapura
ternyata amat sangat mahal sekali. Tidak mau rugi beli air putih seharga Coca-Cola, saya pun membeli salah satu
air berkarbonisasi yang harganya tidak jauh beda dengan air putih meskipun satu
hari penuh belum makan apa-apa.
satu menit... lima menit... sepuluh menit sudah
lewat, tapi menurut pengamatan saya belum juga adzan berkumandang. Oh, mungkin
karena tidak ada masjid di dekat situ. Jadi saya memutuskan untuk membatalkan
puasa saja. Ketika akan kembali ke hotel yang tadi, saya akhirnya menemukan
sebuah penginapan. Tak banyak bicara, saya langsung ke sana dan memastikan
apakah ada kamar kosong. Mereka bilang “ada”. Saya teriak “Yes” dalam hati.
Selamatlah uang yang bakal saya pakai untuk ke Universal Studio, hahaha...
Penginapan itu seharga 18 SGD saja per malam. Saya jadi bisa menghemat untuk
banyak hal. Tapi kalau bukan karena lagi backpacking, saya enggan untuk
menginap di sana. Ternyata penginapan itu tempat tinggal para pekerja di
Singapura. Banyak orang India, Mongolia, dan orang Singapura. Jadi itu sama
sekali bukan tempat menginap untuk backpacker. Saya sebenarnya agak takut juga
satu kamar atau bahkan satu gedung isinya orang India dan sebangsanya semua.
Penerangan gedungnya agak temaram. Di sana sini tergantung beraneka ragam
jemuran sebangsa handuk, celana dalam, baju, celana, dan semacamnya. Tempat
tidurnya seperti tidak pernah dibersihkan. Pokoknya saya berusaha untuk tidur
tidak terlalu lelap nanti malam untuk menghindari “sesuatu” hal yang tidak
diinginkan terjadi, wkwkwk....
Malamnya saya sholat tarawih di masjid di dekat
penginapan. Kebetulan saya melihat ada teman sekamar yang juga sholat di sana.
Saya kemudian berkenalan. Namanya saya lupa, tapi namanya sangat berbau
Singapura anggap saja namanya Zohir (bukan mawar). Saya mungkin satu-satunya tamu
di penginapan itu, jadi saya harus membentuk aliansi sehingga ada orang yang
bisa saya mintai tolong saat situasi darurat. Kondisi gedung dan para
penghuninya sangat membuat saya cemas. Mau tak mau saya harus mencari teman
yang bisa dipercaya dan hanya Zohir yang kelihatannya bisa dipercaya. Saya
bertanya, kenapa dia tinggal di penginapan padahal dia orang Singapura asli.
Dia bilang harga rumah di sini sangat mahal. Harga 18 SGD untuk sebuah kamar
memang murah tetapi kalau setiap hari membayar 18 SGD rasanya cukup berat juga.
Dia bilang, ada potongan harga untuk penghuni tetap. Saya hanya bilang,
“ooooh”.
Pagi-pagi sekali saya sudah mencari hostel baru,
saya tidak tahan untuk tinggal walaupun hanya satu malam di sana. Tas saya
tinggal agar pencarian lebih mudah. Barang-barang berharga saya masukkan ke
dalam loker. Saya datangi hostel-hostel yang kemarin berharap ada tamu yang
check-out. Ternyata benar. Tanpa pikir
panjang saya langsung bayar kamar dan mengambil tas di penginapan. Saya
mengucapkan selamat tinggal pada Zohir dan memberinya sekantung kacang almond
yang saya beli di Kuala Lumpur. Yeee... akhirnya saya dapat hostel backpacker
yang sesungguhnya. Harganya memang lebih mahal 22 SGD/ malam tapi dengan
kondisi kamar dan penghuninya yang lebih “beradab” dan lebih cihuy (banyak cewek cakep, coy...) membayar dengan harga segitu jadi tidak masalah.
Di hostel ada internet gratis, saya lalu
menghubungi Hannah via FB untuk
memberitahunya kalau saya sekarang menginap di Drop Inn Hostel. Saya akan
bertemu Hannah dan kakaknya lagi di Singapura. Malam ini saya bisa tidur dengan
nyenyak,wkwkwk... Untuk mengisi waktu saya hanya main internet di ruang utama.
Saya sudah terlalu lelah untuk jalan keluar. Di ruang utama saya banyak
berkenalan dengan banyak backpacker yang sudah pro atau yang masih bau
kencur kayak saya. Ada yang dari Norwegia, Belanda, Amerika, India (yah,
dia lagi), Malaysia, dan masih banyak lagi. Salah satunya ada kakak beradik
dari Taiwan (kakaknya lucu banget, coy). Kita semua mengobrol ngalor-ngidul. Untuk beberapa backpacker
yang sudah pernah ke Indonesia saya tes penguasaan bahasanya. Rata-rata cuma
bisa bilang “apa kabar?” dan “terima kasih” saja, haha...
Rasa senasib sepenanggungan sesama backpacker
sungguh terasa. Keakraban dengan mudahnya terjalin walau baru saja kenal.
Persaudaraan backpacker berlaku seumur hidup. Entah besok atau lusa atau
beberapa tahun mendatang, kita semua mungkin akan bertemu kembali di suatu
tempat. Makanya sebaiknya kita mencatat kontak atau sekedar alamat email
teman-teman kita itu. Tiba-tiba, ketika sedang asyik mengobrol ada tamu dari
Korea masuk ke lobi. Karena petugas tidak mengerti yang orang Korea katakan,
lalu dia bertanya kepada semua orang di ruang utama “anyone can speak malay?”
(lah... saya kira bahasa korea). Di ruang utama hanya saya dan Mandy yang orang
Malaysia yang bicara melayu. Lalu, saya tanya ada apa. Kemudian dia menjelaskan
masalahnya. Saya sempat terheran-heran, bagaimana orang korea bisa berbicara
bahasa melayu sefasih itu. Tapi setelah saya perhatikan, bukan... sepertinya
itu bukan bahasa melayu, tapi bahasa indonesia. WOW! Dengan bertambahnya orang
korea, suasana di ruang utama semakin seru. Saya penasaran dari mana dia
belajar bahasa indonesia. Jawabannya sekali lagi membuat saya terheran-heran. Namanya
Song. Ternyata dia sedang belajar bahasa indonesia di BIPA UI (ealah... orang Depok juga).
Besok harinya ada peringatan HUT Singapura di
Marina Bay. Semua orang terlihat berbondong-bondong untuk melihat kemeriahan
ulang tahun negeri singa itu. Ini Peristiwa yang sedikit langka. Oleh sebab
itu, saya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menyaksikan kemegahan
seremoni HUT Singapura. Cukup lama saya menunggu. Sampai tiba-tiba sebuah
helikopter Chinook terbang rendah membuat para pengunjung terkejut karena
gelegar suara baling-baling yang menderu-deru. Para penerjun pun beraksi
meliuk-liuk di udara. Tak lama berselang manuver perahu boat melintas di antara
pengunjung membentuk riak-riak air. Tampaknya seremoni sudah dimulai. Selama 2
jam, mata pengunjung dimanjakan dengan atraksi-atraksi dari angkatan udara
Singapura. Perayaan lalu ditutup dengan pesta kembang api yang diluncurkan dari
gedung-gedung tinggi sekitar Marina Bay. Sungguh pengalaman yang tak
terlupakan. Sebelum pergi ke Marina Bay, siang harinya saya menemani Song ke
Kedutaan Besar Indonesia. Saya sudah menyambangi (bahasanya mantep, ye) KBRI di
Bangkok, sekarang saya juga mau melihat KBRI di Singapura. Katanya gedung KBRI
salah satu yang termewah di Singapura. Song pergi ke KBRI untuk mengajukan
perpanjangan visa. Saya bilang kenapa tidak mengurus di Jakarta saja. Lalu, dia
menjawab perpanjangan visa harus dilakukan di KBRI di luar negeri. Mungkin ini
yang dimaksud dengan visa run (cari artinya di google).
|
Helikopter chinook yang dikawal helikopter apache |
Untuk sampai hostel perlu sedikit perjuangan,
karena saya harus bersaing dengan pengunjung lain untuk naik MRT. Saat itu ada
lebih dari 80 ribu orang yang memadati Marina bay. Saya harus mencari stasiun
MRT agak jauh agar terhindar dari kepadatan penumpang. Sampai di Hostel saya
langsung mandi dan berkumpul ke ruang utama. Tiba-tiba pintu hostel yang
terbuat dari kaca diketuk seseorang. Untuk masuk ke hostel kita memang harus
memakai kartu pass atau minta bantuan
orang yang sudah di dalam. Saya bilang “wait
a moment” dan berjalan untuk membukakan pintu. Seorang wanita korea sudah
berdiri di depan pintu yang terbuat dari kaca itu. Saya belum menyadarinya
sampai wanita itu cengar-cengir melihat saya. Wow... ternyata itu Hannah dan
kakaknya. Tidak disangka mereka sudah kembali dari Bali. Wah, asiiiik. Saya
punya teman jalan lagi untuk pergi ke Sentosa besok pagi, hehe...
Sebagai hostel backpacker, fasilitas Drop Inn
cukup lengkap. Tamu dimanjakan dengan internet gratis di ruang utama, wifi bagi
yang mau pakai laptop sendiri, hot shower,
sarapan pagi, dan free map. Sebelum
pergi ke Sentosa, saya harus menunggu Hannah dan kakaknya sarapan dulu sambil
berbincang-bincang dengan Joshua dan Flavia, kakak beradik dari Taiwan.
Berkali-kali mereka berempat bilang “sorry, Fandi”, karena merasa tidak enak
hati harus makan di depan saya yang sedang berpuasa. Mereka sungguh pengertian
sekali. Setelah dirasa cukup sarapan, petualangan ke Sentosa pun dimulai.
Yipeee... Saya pergi ke Sentosa ditemani Hannah dan kakaknya saja, karena Song
harus kembali ke KBRI untuk memperpanjang visa.
Saya menghabiskan satu hari penuh di Sentosa.
Waktu paling banyak saya habiskan di Universal Studio. Di sini saya dan Hannah
berpisah karena dia mau berenang di pantai. Kalau boleh dibilang, dari segi
luas dan banyaknya wahana, Dufan masih lebih baik dari US. Untuk taman hiburan
seharga 63 SGD, seharusnya US bisa lebih baik lagi. Saya kembali ke hostel
menjelang malam dan sangat terkejut melihat teman-teman satu hostel sudah
berpakaian necis semua. Yang cowok
berpakaian casual, sedangkan yang cewek berpakaian
minimalis (maksudnya rok mini dengan atasan mini, hehe). Lalu, saya tanya
kepada mereka “rapi-rapi bener, mau pada kemana luh?”. Mereka malah cengar-cengir gak jelas. Wah, dari gelagatnya pasti mereka pada mau pergi dugem. Ternyata benar, setelah saya korek-korek mereka mau pergi ke club.
Mereka bilang, “hey, you wanna join
with us?”. Waduh, pertanyaan berat. “tonight
is ladies night”, mereka menambahkan kalimat terakhir sebagai senjata ampuh
untuk mengajak saya. Saya sempat berpikir sejenak. Kapan lagi bisa dugem
apalagi di luar negeri yang pasti lebih heboh. “Ayok dah, gw ikut juga”,
haha... Saya pun langsung mandi dan ganti pakaian, sholat Isya sebentar (nabung
pahala sebelum berbuat dosa) lalu kembali ke ruang utama. Sewaktu berjalan
turun dari tangga (letak dormitory saya
di lantai 2) tiba-tiba saya baru ingat sekarang bulan Ramadhan. TENG TONG!
Terjadilah pertentangan di dalam hati. Tapi, saya putuskan untuk membatalkan
saja rencana buruk walaupun jarang-jarang juga bisa dugem bareng mereka (kenapa
rencana buruk gw selalu gagal). Bulan
Ramadhan adalah bulan terpenting dalam kalender Hijriyah. Saya rasa itu
keputusan yang paling tepat.
|
Beli tiket monorail ke Sentosa Island |
Dengan berat hati saya melepas kepergian mereka.
Hostel pun jadi kosong melompong yang
hanya menyisakan beberapa orang termasuk karyawan hostel. Beberapa orang yang
tidak ikut pergi diantaranya 1 orang india. Saya tanya kenapa dia tidak pergi,
dia bilang besok ada ujian jadi harus belajar. Wah, ternyata banyak juga
penduduk Singapura yang tidak punya rumah dan harus tinggal di hostel. Lalu ada
teman saya orang Taiwan. Kalau mereka sih sudah ketahuan dari tampang yang anak
baik-baik, haha... Dan yang terakhir orang Azerbaijan. Dia baru check-in sore ini. Nah, kalau yang ini
tampang-tampang ihkwan. Di hostel saja pakai kopiah khas arab mulu. Malam itu akhirnya saya banyak
mengobrol dengan karyawan hostel sebelum dia pulang jam 10. Kemudian
dilanjutkan dengan “santapan rohani” pengganti acara dugem dari orang Azerbaijan itu. Dia sangat kagum dengan Indonesia
yang merupakan negara muslim terbesar di dunia dan keramah tamahan muslim
Indonesia (weee...)
Esok paginya saya lihat teman-teman satu hostel
sudah pada tepar. Buseeeng... kayaknya pesta tadi malam
seru banget, nih, haha... (nyesel gak ikut :p). Pesawat saya terbang jam 8
malam. Jadi siangnya saya manfaatkan untuk jalan-jalan bersama Hannah dan
kakaknya keliling kota Singapura. Sebelum jalan-jalan saya sudah packing takut ada barang yang tertinggal
kalau packing terburu-buru. Dalam beberapa
hari ini saya hampir mengujungi semua objek wisata di Singapura. Tidak terasa
waktu liburan yang hampir satu bulan lamanya akan berakhir. Banyak teman-teman
baru yang saya temui selama di perjalanan. Banyak juga pengalaman yang saya
dapatkan dari Bangkok sampai ke Singapura. Saya telah berhasil menapaki
anak-anak tangga impian yang akan mengantarkan saya lebih dekat dengan puncak
obesesi terbesar saya. Patung Merlion menjadi saksi haru biru perasaan saya.
Entah kalau tidak ada orang, saya mungkin akan menangis di hadapan patung aneh berbentuk
singa separuh ikan itu. Pergi ke luar negeri yang sebelumnya tidak pernah
terlintas, dapat saya wujudkan. Tidak hanya satu negara, bahkan saya berhasil
melakoni perjalanan tiga negara sekaligus. Tidak hanya tiga hari atau seminggu
tapi hampir satu bulan. Dan itu semua saya lakukan seorang diri. Sedikit orang
yang berani mengambil resiko ke luar negeri pertama kali sendirian, tapi saya
sudah melakukannya. Tanpa bekal kartu kredit. Tanpa uang melimpah. Semua hanya berawal
dari kepercayaan kepada diri sendiri dan persiapan yang matang. Perjalanan ini
telah mentransformasi saya menjadi individu yang baru. Sekarang sudah tidak ada
lagi orang yang meragukan saya. Hebatnya lagi, banyak orang yang mengira saya
sudah pergi ke berbagai negara padahal saya baru saja memulainya.
Saya menulis semua ini untuk membuktikan ada
sebuah keajaiban bila kita sudah bertekad. Saya rasa kondisi teman-teman banyak
yang lebih baik dari saya, oleh karena itu kalau saya bisa kenapa kalian tidak.
Oh, ya saya masih belum menjawab bagaimana membedakan impian yang harus
diperjuangkan dengan impian yang harus dilupakan. Pada dasarnya, semua impian
harus diperjuangkan. Kalau ada orang yang mengatakan impian kita tidak
rasional, mereka hanya tidak tahu saja alasan rasional dibalik keputusan kita.
Saya lebih memilih menunda kelulusan sebab saya berpikir bila perjalanan backpacking
saya lakukan setelah lulus kuliah dan mencari kerja dulu, tidak mungkin saya
bisa backpacking dengan leluasa. Apalagi jatah cuti kantor paling banyak
rata-rata hanya 14 hari dalam setahun. Itu pun harus ijin dengan birokrasi yang
memakan waktu. Kata Suhu backpacker saya, mba Trinity: “waktu liburan
terpanjang seumur hidup adalah saat kuliah”. Jadi saya tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan keleluasaan waktu untuk mewujudkan impian saya itu. Kita backpacking
keluar negeri bukan untuk buang-buang waktu dan uang, tapi wujud investasi
terhadap pembentukan karakter pribadi kita menjadi lebih kuat, mandiri,
kreatif, percaya diri yang dibentuk selama perjalanan. Itu juga belum ditambah
dengan mendapat teman baru yang tidak ternilai harganya. Bisa saja kan, teman
dari Prancis yang saya temui di Thailand mau membuat surat sponsor untuk
berkunjung ke negaranya. Mungkin hal itu agak sedikit cerita “berbau” dongeng
yang terlalu indah dalam dunia nyata. Tapi, tetap selalu ada kemungkinan
seperti itu. Kalau tidak, terpaksa saya harus menapaki satu demi satu anak-anak
tangga impian yang akan membawa saya ke depan altar suci Sorbonne.
Pesawat saya mendarat mulus menjelang tengah malam
di terminal internasional, ups, maksudnya bandara internasional Soekarno-Hatta
(maklum tuh bandara lebih mirip
terminal, wkwkwk...). Saya ucapkan terima kasih untuk teman-teman saya:
Farhandi yang menemani saya ke bandara, Pla yang menemani saya di Thailand, dan
Sungsil yang menemani di Malaysia. Berkat mereka walau saya pergi sendiri, saya
tidak merasa kesepian. Backpacking berikutnya akan lebih jauh ke utara dan
lebih mendekati daratan Eropa: Makau dan Hong Kong.
|
Bugis |
|
Singapore Botanical Garden |
|
Universal Studio Singapore |
|
Marina Bay |
|
KBRI di Singapura |
|
Jalanan Singapura yang lengang |