Pulau Putri
Sewaktu saya masih kecil, nama pulau seribu sudah membuat saya penasaran untuk datang ke sana. Apalagi, teman-teman semasa SMP seringkali bercerita mengenai liburan mereka ke pulau bidadari atau ke pulau ayer. Sungguh beruntung, akhirnya saya bisa mewujudkan mimpi saya itu walaupun harus menunggu lebih dari 10 tahun. Kesempatan saya bersua dengan pulau seribu datang dari ajakan seorang teman di tahun 2010 lalu. Pada kunjungan pertama, saya diberi kesempatan mencicipi keindahan private island, sedangkan untuk kunjungan yang kedua, saya mengikuti tour island yang dibuat oleh klub Jakarta Tempoe Doeloe.
Salah satu alasan mengapa saya baru bisa pergi menjelajah pulau seribu adalah minimnya informasi kala itu. Untuk pergi ke sana, saya tidak tahu harus naik perahu dari pelabuhan apa, menginap dimana, dan biaya yang harus disiapkan. Karena yang saya tahu, Pulau Seribu adalah tempat liburan hanya untuk kalangan “atas”. Makanya, ketika ada kesempatan untuk pergi ke sana, saya tidak ingin melewatkannya.
Pada saat kunjungan pertama, saya pergi melalui pelabuhan Marina, Ancol. Pelabuhan Marina memang dikhususkan bagi para pelancong yang hendak ke Pulau Seribu menggunakan boat. Ketika itu, saya begitu excited, karena ini akan jadi pengalaman pertama ke Pulau Seribu. Sebenarnya, dua hari sebelumnya saya jatuh dari motor. Kaki dan tangan saya terluka cukup parah, saya pun sempat ragu jadi pergi atau tidak. Berhubung sudah janji dengan teman dan tidak mau rugi melewatkan gratisan, terpaksa bela-belain walaupun tangan kaki nyut-nyutan,haha…
Waktu tempuh ke pulau Putri dari pelabuhan Marina sekitar 2 jam lebih. Kapal melaju cepat memecah ombak, maklum kapal yang saya tumpangi bermesin ganda 40 PK. Kalau bayar, saya mungkin harus mengeluarkan uang Rp 150 ribu,- sekali jalan untuk kapal. Sedangkan untuk penginapan, satu malamnya bisa Rp 1 juta-an,- (beruntung teman saya punya saudara yang kerja di sana jadi agak KKN dikit,hehe...). Selama perjalanan, saya tidak merasakan guncangan ombak. Mungkin, karena saking cepatnya laju kapal. Tidak lama, kapalpun merapat di pulau Putri. Saya kemudian menaruh barang bawaan di kamar dan bersiap menjelajahi pulau.
Sebelum jalan-jalan, saya makan dulu, maklum sudah lewat jam makan siang. Nasi dan lauknya sudah diambilin teman saya, tugas saya cuma makan saja,hehe… Luas pulau Putri tidak sebesar pulau Pramuka (sok’ tahu, padahal belum pernah ke sana). Untuk mengelilinginya mungkin cuma perlu 30 menit jalan kaki. Di tengah pulau masih ada hutan alami, jadi terkadang suka banyak hewan sejenis kera, lutung, dan sebangsanya mampir ke penginapan. Yang lebih suereem, sering ada biawak mondar-mandir di depan pintu. Makanya, pintu kamar diusahakan selalu terkunci takut ada binatang ular atau yang lain masuk ke kamar.
Setelah puas menjelajahi pulau (kemarin nggak sempat mengelilingi seluruh pulau, sih), saya kemudian bersiap ke dermaga untuk melihat sunset. Saya bersama turis-turis yang lain naik kapal bak terbuka (eh, kalau kapal kayak gitu apa ya namanya) lalu, menuju laut lepas. Kata teman saya, biasanya banyak lumba-lumba yang suka berenang mengikuti kapal. Namun, karena kemarin agak mendung, nggak ada satupun lumba-lumba yang terlihat. Walau mendung, sunset-nya tetap kelihatan, kok, sebab mataharinya berada di ujung horizon. Menjelang malam, kapal kembali ke dermaga. Ya, lumayanlah hari itu bisa melihat sunset, walaupun luka-luka saya agak sakit kena sinar matahari.
Malamnya, karena hujan saya di diam kamar saja nonton tv. Ada di pulau saat hujan sangat menyeramkan. Saya jadi teringat petualangan saya ketika menginap di pulau Sempu. Kira-kira rasanya sama-lah seperti itu, bedanya pulau Sempu cuma berjarak 5 menit dari daratan utama sedangkan pulau Putri berjarak 2 jam dari Jakarta, jadi ombaknya lebih sangar. Saat itu, anginnya kencang sekali, pohon-pohon sampai pada bunyi kreeek kreek. Saya sempat keluar untuk beli makanan, dan tidak sengaja melihat kondisi laut saat itu. Ombaknya benar-benar seperti di film perfect storm. Tapi, anehnya saya jarang sekali mendengar petir, mungkin karena di sekitar pulau hanya ada laut. Jadi, tidak ada muatan listrik netral untuk terciptanya petir, sebab bumi lah yang berfungsi sebagai penghantar muatan listrik netral (sok’ tahu lagi).
Saya bangun sekitar jam 6 (telat sholat shubuh), abis itu langsung mandi dan sarapan. Lagi-lagi, teman saya yang membawakan nasi dan lauknya, saya tinggal menyantap saja. Sisa-sisa badai semalam masih terlihat jelas, banyak sekali daun-daun dan cabang pohon yang berserakan. Rencananya, saya mau menginap 2 malam, tapi luka di tangan saya agak terasa sakit kalau terkena angin laut (mungkin karena sedikit mengandung garam). Jadi, saya memutuskan untuk pulang hari itu juga. Sebelum pulang, saya pergi ke tabung observasi untuk melihat ikan di bawah laut. Ikannya besar-besar sekali. Turis lain banyak yang mengisi waktu luang dengan naik banana boat, naik bebek-bebekan seperti di taman mini, dan ada juga yang memancing. Jadwal kapal ke Jakarta cuma 1 kali, yaitu pagi jam 10. Jadi, saya harus siap-siap ada di dermaga sebelum jam 10 atau pulang keesokan harinya. Jam 10 kapal datang, tapi yang sekarang agak kecil dan agak lambat dari yang kemarin. Tapi, ini masih lebih baik sebab kalau naik kapal mesin punya nelayan bisa memakan waktu 8 jam untuk sampai Jakarta. Sampai di dermaga Marina, saya jalan-jalan ke Ancol sebentar, lalu pulang ke rumah. Oh, iya, perjalanan ke pulau Putri saya cuma habis Rp 100 ribuan, itu juga hanya untuk pengeluaran pribadi dan masuk Ancol.
wuidih, ikannya gede-gede... serem
kolam observasi bawah laut.
di sekeliling pulau Putri banyak juga pulau lain yang belum dikembangkan (berniat investasi?)
karena bosen di dalem terus, mending nge-liat pemandangan dari luar kapal...
Pulau Onrust
Setelah jalan-jalan ke pulau Putri beberapa waktu lalu, sekarang saya berkesempatan mengunjungi pulau Onrust, dan dua pulau lainnya. Perjalanan kali ini, saya ditemani oleh teman-teman dari Jepang, Korea, Thailand, dan Polandia. Kebetulan, salah satu teman saya merupakan anggota klub Jakarta Tempo Doeloe. Jadi, ketika klub itu mengadakan acara jalan-jalan ke pulau Onrust, dia juga mengajak saya. Biaya perjalanan kemarin Rp 100 ribu,- sudah termasuk makan, kapal, kaos, dan pin. Lumayan lah nggak rugi-rugi banget dengan fasilitas yang disediakan panitia.
Dari Depok saya naik kereta menuju Kota. Saya dan teman-teman sudah janjian untuk bertemu di depan museum Bank Mandiri di depan stasiun Kota. Karena kereta telat, saya pun agak telat sampai sana. Saat itu, semua orang sudah datang. Tidak banyak membuang waktu sayapun langsung mencari taksi untuk ke Muara Kamal, sebab tour akan dimulai jam 8 pagi. Sengaja saya pilih taksi Ekspress, karena tarifnya lebih murah dari Blue Bird (bukan promosi), tapi untuk taksi kedua saya pakai Taksiku (dua-duanya recommended). Kami saat itu pergi ber-9, jadi kami bagi lima orang untuk di Ekspress dan sisanya di Taksiku.
Singkat kata, kami langsung meluncur ke TKP. Dermaga Muara Kamal agak jauh dari stasiun Kota, sekitar 40 menit perjalanan. Tempatnya juga agak terpencil dan tidak ada angkutan kota. Tapi, kita bisa pakai mobil omprengan untuk sampai sana. Kalau sudah malam, akan lebih susah lagi cari angkutan. Jadi, lebih baik pulang sebelum jam 6, atau bawa kendaraan sendiri. Tour akan mulai pada pukul 08.00, tapi jam 7.40 kita masih ada di jalan karena agak macet. Jalan ke Muara Kamal tidak terlalu lebar, namun yang lewat truk-truk besar. Sehingga, bila berpapasan, salah satu pihak harus sedikit menepi.
20 menit lebih, kami sampai dermaga Muara Kamal (untung nggak ditinggal). Kami pun dapat kaos dan pin dari panitia. Saat itu, ada lebih dari 4 perahu yang membawa para anggota tour ke pulau Onrust, karena jumlah orang yang ikut saya taksir lebih dari 100 orang termasuk panitia. Setelah berdoa bersama, kapal pun berangkat. Dermaga Muara Kamal terbilang agak kumuh, banyak sekali sampah yang berserakan di darat maupun di laut. Makanya, jarang pelancong ala koper yang lewat Muara Kamal untuk ke pulau Seribu. Mereka lebih suka naik kapal dari Marina Ancol.
Kapal yang saya tumpangi melaju tidak lebih dari 5 knot (sekita 10 km/ jam lah). Berbeda sekali dengan kapal ke pulau Putri. Kali ini, guncangan ombak sangat terasa sehingga saya lihat beberapa orang yang muntah-muntah karena mabok laut. 15 menit kemudian, saya sampai ke pulau pertama. Di pulau pertama yang saya kunjungi ada sebuah benteng tua yang sudah hancur di beberapa bagian. Keadaanya kurang terawat karena persoalan klasik yaitu “sampah”. Yang sering buang sampah sembarangan memang sampah masyarakat. Saya paling kesal, kalau sedang jalan-jalan wisata alam melihat sampah. Kalau punya waktu lebih banyak, mungkin saya akan pungutin tuh sampah seperti yang saya lakukan di pulau Sempu dulu. Please, sediain kantong sampah pribadi kalau sedang wisata alam. Jadi, sampahnya nggak dibuang begitu saja. Masalahnya, tempat seperti pulau Seribu dan pulau Sempu, bukan ada di tengah kota yang gampang dibersihkan kalau kotor. Sekali saja ada sampah yang terbuang akan sulit dibersihkan, apalagi kalau sudah ada di laut sangat sulit sekali mengumpulkan sampahnya. (consider the earth is our home, so we have to responsible to keep it clean).
Kecuali masalah sampah, tempat itu sebenarnya adalah tempat yang indah. Pasirnya berasal dari pecahan kulit kerang, kalau terinjak rasanya sedikit sakit (buat terapi cocok kali, ye). Yang aneh, di pulau itu ada sekawanan kucing yang entah dari mana datangnya. Saya bertanya kepada pemilik kapal, dan menanyakan apa itu kucing mereka (mungkin terbawa di perahu). Tapi, mereka bilang itu kucing dari Jakarta (wew). Beberapa saat kemudian, kami melanjutkan ke pulau berikutnya. Ada hal lucu sebelum ke pulau selanjutnya, rupanya badan kapal terbawa ombak sampai menyentuh dasar (karena nggak ada dermaga). Sehingga walau mesin sudah di gas pol, kapal belum mau jalan juga. Kapal harus didorong sedikit, dan yang gila si bapak menyuruh anaknya yang masih bocah untuk mendorong kapal (kasian banget luh, tong!). Mungkin karena kapal terlalu berat atau si anak yang terlalu kecil, kapal tetap nggak bergerak. Orang-orang bukannya mikir, malah pada ngobrol sendiri, padahal kapal lain sudah berangkat. Karena kasian, saya turun lagi ke pantai dan dorong tuh kapal dan buru-buru naik lagi biar nggak ketinggalan. Memang, “gara-gara” ikut pramuka (lebih tepatnya, berkat ikut pramuka) jiwa solidaritas dan kecintaan dengan alam yang saya miliki jadi tinggi sekali. Sesuai dengan isi Dasa Dharma ke-dua: cinta alam dan kasih sayang sesama manusia. Hidup Pramuka!!!
Jarak pulau pertama dan kedua tidak begitu jauh sekitar 10 menit perjalanan. Di pulau kedua ini, lebih luas dari pulau pertama. Di sini ada pos penjagaan dan tempat istirahat, selain itu ada banyak kuburan belanda. Pemandu tour menjelaskan, kalau dulunya pulau ini adalah penjara dan tempat buangan para korban kasus politik. Beberapa saat berjalan kaki, saya menjumpai kuburan yang konon adalah peristirahatan terakhir dari........ (wah lupa namanya, sorry!) yang pasti, ada kok di buku pelajaran sejarah. Lalu, tour dilanjutkan ke kuburan belanda. Ada satu makam yang agak nyentrik, karena batu nisannya paling besar sendiri dan ada tulisan bahasa belanda-nya (paling tulisan itu artinya “di sini telah terbaring dengan tenang bla... bla... bla...”). Katanya, kalau malam hari, si nyonya belande ini sering menampakan wujudnya. Puas dengar celotehan si pemandu, saya dan teman-teman sudah nggak sabar foto-foto dengan latar belakang laut lepas. Wuih, keren...
Panitia kemudian membagikan nasi bungkus. Saatnya makan siang rupanya. Jujur, makanannya enak banget, mungkin karena lapar kali, ya. Tidak lupa cari mushola untuk sholat dhuhur sekalian ashar, istirahat sebentar lalu lanjut ke pulau terakhir. Oh, ya... sorry lagi. Saya lupa pulau Onrust tuh yang mana ya, pulau pertama? pulau kedua? atau pulau ketiga?. Pokoknya, Onrust itu dari bahasa belanda yang berarti tidak pernah istirahat, mungkin bahasa inggrisnya unrest kali, ya (maybe). Sebenarnya pulau kedua dan pulau ketiga terhubung oleh jembatan yang melintasi laut, tapi sayang jembatannya terputus di bagian tengah karena ombak. Di pulau ketiga, masih tersisa beberapa bangunan yang dulunya tempat karantina. Saya sempat berjalan di atas jembatan sampai bagian yang terputus. Wow, seram sekali karena jembatan itu benar-benar di tengah laut. Yang jadi pertanyaan, kok, bisa ya bangun jembatan di tengah laut. Secara kalkulasi kedalaman laut lebih dari 10 meter, lalu bagaimana mereka menancapkan tiang-tiangnya dan membuatnya berdiri kokoh (setidaknya sampai sebelum jembatan itu runtuh). Pokoknya keren lah, arsiteknya. menjelang sore, kami kembali ke Muara Kamal. Untuk ke pusat kota, saya naik omprengan Rp 10.000,- menuju pluit. Dari sana dilanjutkan dengan Transjakarta ke downt town. Malamnya, saya diajak teman nonton acara dari kedutaan besar Thailand di Gedung Kesenian Jakarta. Wah, hari yang sangat indah yang tidak terlupakan.
Jalan-jalan ke pulau Seribu merupakan my fulfilled dream. Kalau bukan karena teman-teman saya itu, mungkin saya masih penasaran setengah mati dengan pulau seribu. Kalau ada waktu, saya juga mau ke pulau Tidung, sepertinya pulau itu menjadi terkenal baru-baru ini. Banyak teman yang mengajak ke sana, tapi belum sempat waktunya. Selain pulau Tidung, saya juga mau ke pulau Pramuka (mentang-mentang anak Pramuka), pulau Bidadari, dan pulau Ayer. Semoga saja saat yang tepat untuk mengunjungi pulau-pulau itu datang.