Selasa, 23 Maret 2010

Backpacking Part 2 (Bromo-Malang-Pulau Sempu)

Berhubung ada liburan di semester ini, saya bersama teman-teman satu jurusan berniat melakukan backpacking ke Jawa Timur. Dalam perjalanan kali ini, saya berniat menyelesaikan misi backpacking pertama yang belum sempurna, yaitu mengunjungi kawah Ijen, gunung Bromo, dan pulau Sempu. Karena saya inisiator pejalanan, otomatis saya pula lah yang membuat itinerary perjalanannya, mulai dari penginapan sampai transportasi ke daerah tujuan. Belum banyak buku yang mengulas tempat-tempat tersebut, untuk itu saya berusaha mencari informasi tambahan dari internet yang saya rasa tidak kalah informatifnya. Dari blog-blog yang saya kunjungi, kemudian saya buat panduan perjalanan yang kemudian saya bagikan ke teman-teman yang lain.


Persiapan perjalan kali ini, terhitung lama yaitu 6 bulan hampir sama seperti perencanaan ke Bali kemarin. Masalahnya bukan pada budget, tapi lebih kepada mencari waktu yang tepat. Kami sudah sepakat kalau lebih baik liburan dilakukan setelah ujian tengah semester. Dalam 6 bulan itu, saya mencoba mengetahui betul-betul medan yang saya akan hadapi, seperti apakah ada angkutan pada malam hari atau letak tempat makan yang terdekat dari penginapan, dsb. Perjalanan kemarin tidak ada bedanya dengan yang sebelumnya, teman-teman mempercayakan 100% kepada saya untuk semua hal, mereka maunya tahu beres saja. Sebenarnya, ada nilai positif dan negatif sistem pembagian tugas seperti itu. Nilai positif yang pertama dapat dipastikan selama perjalanan konflik jarang sekali terjadi karena hanya satu orang yang menentukan mau naik apa, makan dimana, tidur dimana, yaitu saya sendiri. Selain itu, bagi teman-teman saya, mereka juga bisa menikmati liburan yang “sebenarnya” bak ikut travel agen yang semuanya sudah diatur. Walaupun begitu, nilai negatifnya adalah apabila saya lupa trayek angkutan atau data yang didapat dari internet berbeda di lapangan, otomatis tidak ada orang yang bisa saya minta second opinion, pasti mereka cuma bisa bengong karena memang tidak tahu apa-apa.


Seminggu sebelum berangkat, saya bagikan itinerary kepada teman-teman supaya mereka punya bayangan mengenai daerah tujuan. Tidak tanggung-tanggung, rencananya kami akan ke gunung yang wilayahnya relatif dingin lalu ke pulau di ujung samudera Hindia yang hawanya agak panas. Jadi saya menekankan betul masalah perlengkapan yang harus dibawa agar tidak salah kostum dan demi kenyamanan juga keselamatan selama liburan. Kebetulan selain kami ada juga teman dari Kalimantan yang ikut serta, jadi total anggota ada 4 orang dengan 3 orang laki-laki dan 1 perempuan. Beberapa hari sebelum berangkat, kami sepakat mengumpulkan uang Rp 100.000,- / orang untuk biaya tiket kereta dan logistik. Bisa ditebak, semua mengandalkan saya untuk membeli logistik, tapi untuk tiket kereta, saya minta ke teman untuk membelikan tiket Matarmaja tujuan Senen-Malang di stasiun Senen Poncol.


Hari Pertama

Kamis, 4 Maret 2010


Pagi harinya saya sudah siap-siap, mengecek seluruh perlengkapan yang ada. Tidak lupa malam harinya saya sudah belanja logistik buat di kereta agar tidak membosankan. Semua makanan yang enak dilihat langsung saya beli,hehe... Setelah di cek, tiket kereta pada saat itu hanya Rp 51.000,- untuk kelas ekonomi. Jadi uang sisa benar-benar sangat banyak. Puas berbelanja mulai dari coklat, cola, sampai cemilan sudah dibeli, semuanya tidak sampai seratus ribu rupiah, padahal kantong belanjaan sampai 3 plastik dan beratnya minta ampun.


Kami sepakat akan bertemu dulu di kampus baru melanjutkan ke stasiun Senen. Di kampus saya kembali memeriksa barang bawaan mereka, sehingga kalau ada yang kekurangan bisa dibeli di sini atau bila ada yang lupa bisa pinjam ke teman yang kost-nya dekat kampus. Dari kampus kami naik metromini ke Senen, satu orang bayar Rp 2.000,- karena masih sisa banyak dari uang tiket jadi saya pakai untuk bayar metromini. Mungkin ada sedikit tips, lebih baik memang disediakan uang kolektif agar tiap orang tidak dipusingkan menyiapkan ongkos angkutan, selain itu agar menghindari perselisihan. Pengalaman saya kemarin di Bali, kami saling pinjam uang untuk ongkos angkutan dan tiket masuk objek wisata yang kemudian menjadi peluang konflik sebab perhitungan tiap orang berbeda-beda. Si A mengaku cuma pinjam sekian tapi si B ngotot sebab dia sudah mengeluarkan uang lebih banyak dari yang diklaim A. Makanya untuk perjalanan sekarang saya menerapkan uang kolektif. Tiap orang bayar sekian rupiah, kemudian uang tersebut bisa dipakai untuk keperluan ongkos atau pengeluaran bersama.


Setelah menunggu 30 menit kereta datang, kami langsung naik ke gerbong. Kebetulan kami menempati gerbong pertama dekat dengan lokomotif, jadi kalau lagi bosan bisa lihat-lihat masinis mengemudikan kereta. Seperti yang dijadwalkan kereta berangkat pukul 14.00 WIB. Petualangan kami pun dimulai. Menurut saya, inilah backpacking yang sebenarnya yang cocok untuk latihan ke luar negeri. Backpacking di Bali dikhususkan untuk melatih kecakapan bahasa asing yang saya miliki, serta membiasakan diri di tengah-tengah hiruk pikuk kota yang banyak wisatawan mancanegaranya. Kalau sekarang, saya mau melatih mental dan kesiapan di daerah yang penduduknya relatif sedikit dan minim fasilitas, bahkan di pulau Sempu hanya kamilah manusianya,haha...


Kereta terus melaju melewati stasiun demi stasiun. Walaupun cuma kelas ekonomi tapi kami nyaman-nyaman saja, kok. Selain itu, faktor logistik juga yang membuat perjalanan darat ini tidak kalah menariknya dengan menggunakan bus. Di tiap stasiun kereta tidak berhenti terlalu lama, entah kenapa bayangan kereta ekonomi yang sumpek, penuh penumpang, kotor tidak terlihat pada perjalanan kali ini. Mungkin pemilihan waktu, juga menentukan nyaman tidaknya naik kereta ekonomi yang saat itu bukan waktu lebaran atau hari besar lainya, hanya liburan biasa saja.


Tidak disangka, teman saya harus rela membatalkan rencana backpacking dikarenakan bapaknya sedang sakit. Jadi di stasiun Cirebon dia turun dan menyerahkan pada kami perlengkapan grup yang ada di tasnya. Sungguh sayang sekali padahal sudah sejauh ini, tapi kepentingan keluarga memang harus dinomor satukan. Kejadian selama perjalanan tidak terlalu menarik untuk diceritakan, saya sempat melongok ke kabin masinis untuk mengusir bosan. Ternyata saya baru tahu kecepatan kereta api tidak boleh lebih dari 71 km/jam. Saya mengamati berkali-kali, setiap indikator kecepatan menyentuh angka 71 selalu kembali ke angka 69 dan 70.


Kereta sampai Malang jam 8 pagi waktu setempat. Saya dapat sms dari Firdaus, teman yang turun di Cirebon kemarin, kalau dia mau menyusul ke Malang setelah bapaknya sudah dibawa ke rumah sakit. Awalnya sempat bingung juga, karena dalam jadwal seharusnya kami langsung menuju ke Probolinggo untuk ke Bromo. Sehingga mau tidak mau, kami harus cari tempat menginap di Malang untuk menunggu Firdaus. Adrenalin mulai terasa, mencari penginapan dengan go show tidaklah mudah. Penginapan sih memang banyak, tapi yang sesuai budget kan, sedikit. Sekali lagi, internet punya peran penting di sini, setelah foto-foto sejenak kami langsung cari warnet di dekat stasiun untuk search penginapan murah.


Hasil pencarian banyak yang tidak memuaskan, seperti terlalu banyak situs-situs palsu. Tag-nya memang penginapan murah, tapi waktu di klik ternyata cuma iklan baris yang tidak ada hubungannya sama sekali. Hampir sejam mencari, saya mencatat ada beberapa penginapan yang cocok. Kemudian, saya mencoba telepon satu persatu penginapan yang ada di list. Adrenalin mulai terasa, banyak penginapan yang lokasinya terlalu jauh dari stasiun, yah kira-kira jarak jakarta-bogor lah. Tidak mungkin saya ambil, karena memang terlalu jauh, apalagi kami hanya mau menginap dua hari.


Sudah terbayang, kami akan menginap di stasiun atau setidaknya di masjid. Untungnya teman-teman saat itu tidak rewel dan mau menerima kondisi yang ada. Saya sempatkan browsing sekali lagi sebagai my final effort untuk cari penginapan. Taraa.... beruntung sekali, ternyata kampus Brawijaya menyediakan youth hostel bagi para pelancong, akhirnya kami menginap di sana.


Kota Malang memang kota yang sangat teratur. Jarang saya lihat sampah berserakan. Seakan-akan saya sedang berada di luar negeri saja, salut buat pemerintah kota Malang yang bisa membuat kotanya bersih, indah, dan nyaman dikunjungi. Di malang angkotnya bukan memakai sistem nomor tapi huruf, contohnya kalau mau ke Arjosari ya, cari saja angkot yang tulisannya ada huruf A-nya. Contoh lain, huruf AL di angkot berarti dari Arjosari ke Lumpang. Saya pikir cukup mudah buat para pelancong memahaminya dibanding dengan sistem nomor. Selain itu, Malang tergolong kota yang sepi. Saat saya cari makan malam saja, suasananya seperti jam 12 malam, padahal baru jam 8. Sedikit sekali kendaraan yang melintas di jalan dan jalanannya agak gelap. Kalau tidak biasa, mungkin agak takut juga, haha... apalagi saat melewati jalan-jalan kampus sendirian di waktu malam, auranya beda aja. Prikitiw...


  • tiket kereta ekonomi Matarmaja Senen-Malang : Rp 51.000,-
  • angkot AL dari stasiun ke Brawijaya : Rp 3.000,-

  • youth hostel 1 malam untuk 3 orang : Rp 80.000,-

(kamar hanya boleh ditempati 2 orang, tapi saya nego dengan penjaganya daripada harus sewa 2 kamar, lagipula kamarnya cukup besar. Tapi berhubung ada 1 orang cewe, saya dan teman inisiatif untuk tidur di ruang tamu saja. Info lain, sebenarnya kami menyewa untuk 2 malam, karena Firdaus sudah pasti batal ikut, kami putuskan langsung check-out jadi hanya menginap 1 malam. Lalu kami minta uang yang sudah kami bayarkan untuk 1 malam, penjaga bilang kalau uang yang sudah dibayar tidak bisa dikembalikan. Sekali lagi, teknik nego saya berhasil. Saya katakan, tidak apa-apa kalau tidak bisa kembali penuh, eh dia akhirnya menyetujui mengembalikan setengahnya, lumayan buat ongkos)


Hari kedua

Jum’at, 5 Maret 2010


Pagi harinya kami bangun dan memastikan apakah Firdaus jadi menyusul ke Malang atau tidak. Setelah menunggu lama balasan dari dia, ternyata dia batal ke Malang karena bapaknya tidak mau dibawa ke rumah sakit jadi dia harus menjaganya di rumah. Ya, sudahlah kami juga paham kondisinya, lalu kami (yang laki-laki) bersiap sholat jum’at di masjid kebanggaan Universitas Brawijaya. Sempat terpikir, apakah khotbahnya pakai bahasa jawa atau bahasa indonesia, ya,haha...ternyata pakai bahasa indonesia, kok. Soalnya, saya pernah suatu ketika sholat jum’at di Jawa Tengah dan khotbahnya pakai bahasa jawa, duh nggak ngerti, yang ada bukannya dengerin khotbah, saya malah tidur,hehe...


Siangnya kami bertiga, makan di kantin kampus. Jujur saja makanannya tidak begitu enak, ya biasa aja lah. Setelah makan, kami menyempatkan ke mal dekat kampus untuk beli logistik dan beberapa perlengkapan mandi. Mal-nya masih baru jadi tidak begitu ramai, karena jaraknya cukup dekat kami berjalan kaki saja. Pukul 15.00, kami bersiap ke Probolinggo. Ada beberapa cara mencapai Bromo, tapi saya memilih yang lewat Probolinggo dikarenakan trayek angkutannya jelas dibandingkan dengan jalur yang lain.


Sebelumnya kami harus ke terminal Arjosari dulu dengan naik angkot AL lagi. Sampai di terminal kami sempat bertanya ke petugas bagaimana pergi ke Probolinggo, lalu kami disarankan naik bis yang mangkalnya ada di terminal antar kota. Kami membayar retribusi Rp 200,-/orang dan langsung naik bis menuju ke Probolinggo. Di dalam bis saya bertemu dengan mahasiswi yang kuliah di malang dan mau pulang ke Probolinggo, daripada bosan saya kenalan saja dengan dia sambil ngobrol-ngobrol ga jelas,haha.... Tarif bis ekonomi Arjosari-Probolinggo Rp 14.000,- perjalanan memakan waktu sekitar 2.5 jam kalau tidak macet. Saya perhatikan jalan menuju Probolinggo jarang ada belokan dan jalannya sangat halus aspalnya, sehingga para supir sangat bersemangat memacu kendaraannya dengan sangat cepat. Mungkin itu sebabnya banyak kecelakaan yang ada di TV terjadi di daerah Jawa tengah atau Jawa timur.


Bis sampai di terminal sudah agak sore. Saya lalu cari tempat sholat di sekitar terminal. Untuk menuju Cemaralawang (desa terdekat ke Bromo) kami harus menggunakan angkot liar, bentuk mobilnya kaya carry tapi lebih besar. Ternyata mobil baru berangkat kalau sudah penuh, dan kamilah penumpang terakhirnya. Karena mau sholat dulu, para penumpang yang lain harus menuggu kami. Sebenarnya kami sudah bilang ke supir untuk ditinggal saja, kami tidak enak hati dengan penumpang yang lain, tapi dia tidak mau, ya sudahlah. Selesai sholat, kami langsung melanjutkan perjalanan ke Cemaralawang.


Jalanan ke sana sangat berkelok-kelok seperti jalanan di daerah puncak. Yang ngeri, banyak tepi jalan yang tanpa pembatas, jadi langsung jurang gitu. Wah banyak-banyak berdo’a saja deh, selain itu sering ada kabut yang membatasi jarak pandang, saya makin ketar-ketir saja selama perjalanan. Waktu tempuh ke Cemaralawang kurang lebih satu jam, sepanjang perjalanan kami melihat hotel-hotel berjajar cantik, kami sempat bertanya ke supir dimana penginapan murah. Dia menyarankan ada guest house di pemberhentian terakhir seharga Rp 80.000,- untuk satu malam, lalu kami memutuskan menginap di sana.


Karena kami sampai sana menjelang malam, hawanya dingin sekali. Kami cepat-cepat masuk ke kamar untuk bersiap mencari makan malam. Kondisi kamar yang ada sangat jelek, bisa dibilang masih lebih bagus kandang ayam di belakang rumah saya,haha... tapi, untuk latihan mental, saya rasa tidak masalah. Saya harus terbiasa menghadapi yang seperti ini. Anehnya, ada juga turis bule cewe yang mau menginap di sana. Terdengar sekilas percakapan mereka, karena mereka duduk tepat di belakang saya. Wow, ternyata mereka orang prancis, kemudian saya bilang ke Mitra, teman saya yang pernah ke Prancis untuk menegur mereka buat berkenalan. Mitra tidak mau, dia bilang kenapa bukan saya saja yang melakukannya, Zzzz (capek deh). Tidak mau membuang waktu, saya lalu basa-basi dengan dua cewe prancis itu dan saya mendapat sambutan hangat dari mereka karena mereka senang ada orang indonesia yang bisa berbahasa prancis. Lalu saya memperkenalkan Mitra dan Bee kepada mereka, ujung-ujungnya jadi Mitra yang semangat ngobrol dengan mereka (huh, dasar mau enaknya aja, padahal saya yang membuka pembicaraan).


Selesai makan malam, lebih tepatnya mengganjal perut karena makanannya sangat sangat nggak enak. Saya makan agar tidak masuk angin saja, menu makanannya banyak yang kosong. Saya pesan ini, dia bilang kosong mas, trus pesan itu, dia bilang kosong lagi, sampai bosan saya mendengar dia bilang kosong kosong terus. Yang ada hanya nasi goreng yang banyak sekali minyaknya, hueek. Kami langsung tidur, karena besok pagi kami harus bangun untuk mendaki puncak Pananjakan untuk melihat sunraise. Saya dapat informasi, untuk ke Pananjakan bisa menyewa hard top sejenis mobil off-road dengan tarif Rp 350.000 yang bisa dibagi 8 orang. Tapi, saya mau jalan kaki saja biar lebih menantang. Bisa dibilang keputusan saya ini agak nekat, sebab saya sama sekali tidak mengetahu trek untuk ke sana dan seberapa berat jalurnya mengingat Mitra belum pernah naik gunung.


- bis ekonomi Arjosari-Probolinggo : Rp 14.000,-

- guest house 1 malam : Rp 80.000,-

- nasi goreng : Rp 8.000,-


Hari ketiga

Sabtu, 6 Maret 2010


Biar tidak kesiangan, kami sengaja menyetel alarm pukul 03.00 pagi. Entah kenapa, tidak ada rasa kantuk sama sekali, padahal tadi malam kami baru tidur jam 11 malam. Mungkin semangat akan petualangan membuat rasa kantuk hilang. Kami bergegas mempersiapkan pendakian yang akan memakan waktu 1 jam lebih ini. Saat sudah siap semua kami berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah ke gunung. Sebenarnya saya tidak tahu itu jalannya atau bukan, tapi karena mengarah ke gunung, firasat saya memang itulah jalannya. Pada jam segitu langit masih sangat gelap, sehingga kami perlu menggunakan senter sebagai penunjuk jalan. Di tengah jalan kami bertemu seorang pendaki yang juga mengarah ke gunung. Wah ternyata memang benar firasat saya, lalu saya bertanya ke dia “mau ke atas juga, ya?” anehnya dia diam saja lalu dia bilang “excuse me?” pantas ternyata dia bule. Jalan yang gelap membuat saya tidak mengenali dia orang indonesia atau bukan. Kemudian saya tanyakan dalam bahasa inggris apa dia mau ke puncak, lalu dia bilang iya.


Selama mendaki saya mengobrol dengannya, tidak terasa saat melihat ke belakang, “Lho kemana Mitra dan Bee?” rupanya mereka tertinggal sangat jauh. Saya sungguh tidak menyadari mereka bisa tertinggal begitu jauh karena gelapnya jalan dan cepatnya langkah bule itu. Sudah menjadi rahasia umum kalau 1 langkah orang bule sama dengan 2 langkah orang indonesia. Saya menunggu mereka sejenak, lalu meneruskan pendakian lagi. Bule itu adalah orang Jerman yang sedang backpacking sendirian ke Indonesia (Hmm... suatu saat saya pasti seperti dia). Namannya Tim atau Billy saya lupa, tubuhnya sangat tinggi. Untuk amannya saya memanggilnya “sir” karena raut wajahnya tidak kelihatan karena gelap, lalu dia bertanya “how old are you?” saya jawab saja “22 years old” sampai disitu saya belum ngeh kenapa dia bertanya seperti itu. Lagi-lagi Mitra ketinggalan, karena terus berhenti untuk menunggu, kami disusul rombongan lain. Setelah berkenalan dengan rombongan baru itu, dia ternyata orang Jerman juga yang menikah dengan orang indonesia. Selain dia, ada juga ibu bapaknya dari jerman dan beberapa orang indonesia dari pihak istrinya.


Sebenarnya medannya tidak begitu berat, namun bagi yang baru pertama kali naik gunung memang bikin ngos-ngosan. Satu jam mendaki kami sampai ke jalan aspal, di sinilah rute pendaki yang jalan dan naik hard top menyatu. Itu yang membuat jalurnya berbahaya, maka disarankan kita memakai pakaian yang mencolok atau terus mengarahkan senter ke belakang agar supir hard top melihat kita. Lebih amannya, kalau sudah terdengar bunyi mesin mobil, saya menyuruh teman-teman menepi terlebih dahulu dan mempersilakan mobil jalan duluan. Menjelang akhir pendakian Mitra sudah tidak sanggup lagi jalan, karena di situ banyak ojek motor kami memutuskan melanjutkan dengan ojek sampai puncak. Sial betul, ternyata jarak dari tempat tadi ke puncak tidaklah jauh, ya paling cuma 100 meter, baru sadar saya sudah dibohongi apalagi saat tukang ojek bilang ongkosnya Rp 15.000,-/ orang, wah kebangetan tuh orang.


Di puncak, orang-orang sudah banyak berdatangan untuk melihat sunrise. Tidak lama menunggu, kemilau jingga di horizon tampak dengan anggun. Perlahan demi perlahan sinar-sinar keemasan menerangi cakrawala. Saya melihat semua orang seakan takjub melihat tanda-tanda kebesaran Tuhan itu. Semua begitu terpana sampai tidak ada aktifitas, selain melihat lahirnya matahari baru di ujung langit Bromo. Ketika matahari sudah semakin ke atas, baru kelihatan wajah-wajah yang tadinya tidak kelihatan karena gelap. Walau saya tidak melihat wajah orang-orang yang tadi bareng selama pendakian, saya masih bisa mengenalinya dari postur tubuh dan suaranya. Baru saya tahu, ternyata orang yang saya panggil “sir” tadi adalah abg berusia 18 tahun. Tubuhnya saja yang tinggi, tapi mukanya culun, jiah...sial benar.


Karena ingat belum sholat subuh, kami langsung mencari tempat sholat. Air gunung yang dingin ditambah angin yang semilir membuat saya menggigil selama sholat. Selesai sholat, kami melanjutkan ke gunung Bromo dengan memakai ojek dengan bayaran Rp 50.000,-/orang. Jalan ojek melewati jalan yang di lalui hard top. Jalurnya sangat terjal, bahkan hampir 45° di sepanjang jalan banyak sekali kerikil, saya was-was takut motornya tergelincir saja. Berkali-kali saya merosot ke depan, untuk itu saya harus pegang erat-erat besi dibelakang jok. Untuk sampai gunung Bromo kita harus melewati lautan pasir. Hati-hati saja, kadang motornya suka selip di pasir, ojek yang ditumpangi Mitra saja sampai beberapa kali terjatuh.


Perjuangan ke Bromo tidak usai sampai di situ, pengunjung diharuskan berjalan sejauh 2 km ke puncak. Bisa dikatakan mereka saling bagi-bagi rejeki, karena sekarang lah giliran penyewa kuda untuk meraup untung. Saya pikir tidak ada salahnya juga sih naik kuda, lagipula hanya Rp 20.000,- saja. Tapi, teman-teman lebih suka jalan kaki. Di gunung Bromo matahari bersinar sangat terik, tidak ada bangunan apapun yang bisa menghalangi sinar matahari, makanya lebih baik bawa payung atau topi bila ada rencana ke sini. Pemandangan di sini memang sungguh indah luar biasa, kita terasa begitu kecil dihamparan lautan pasir yang maha luas, bahkan teman saya yang sebelumnya pernah ke sini bilang “itu mah lapangan bola para raksasa”, bah!!!. Yang menantang fisik, kita harus menaiki tangga untuk menuju kawah. Saya sengaja terus naik tanpa berhenti untuk menguji stamina, sampai di atas lutut saya langsung gemetar mau jatuh saking lemesnya,wahaha...coba saja sendiri kalau tidak percaya.


Sudah puas lihat kawah Bromo, kita kembali ke tempat ojek tadi. Sempat agak bingung nyari-nyari karena semua tukang ojek tampangnya sama,hehe...sengaja saya belum bayar mereka, sebagai jaminan mereka tidak meniggalkan kita. Untuk informasi, jarak Bromo ke Cemaralawang sekitar 2 km, ya lumayan juga kalau jalan. Kami tiba di penginapan siang hari, lalu segera mandi, makan siang, kemudian siap-siap ke tujuan berikutnya. Setelah menimbang-nimbang, kami tidak jadi ke kawah Ijen, karena masalah jarak yang begitu jauh. Paling tidak pemandangannya sama saja dengan di Bromo, makanya kami putuskan ke pulau Sempu saja yang lebih eksotis.


Angkutan ke Probolinggo hanya mobil carry besar ini, makanya si supir selalu memastikan penumpangnya penuh agar lebih efektif dari segi bensin. Jadilah kami selalu diikuti si supir dan bilang “masih lama nggak, mas?” karena tidak enak hati membuat penumpang lain menunggu, saya dan teman-teman tidak berlama-lama untuk makan dan langsung bergegas ke mobil. Sampai di mobil banyak orang yang bete gitu, terutama cewe-cewe dari Australia. Lalu saya bilang “sorry for waiting long time” ke bule sebelah saya. Terus dia bilang, tidak apa-apa dan menjelaskan cewe-cewe Australia itu sedang mengejar pesawat di Surabaya untuk ke Thailand, oh...saya jadi paham kenapa mereka bete.


Jalur pulang ke Malang sama seperti jalur perginya. Jadi, tidak ada yang istimewa untuk diceritakan. Sampai di Malang sudah agak sore, kami melanjutkan perjalanan menuju Sendang biru, nama daerah tempat pulau Sempu berada. Saya kembali menanyakan bagaimana pergi ke Sendang biru kepada petugas, saya disarankan untuk naik angkot ke terminal Gadang, lalu dari sana naik bis tujuan Turen. Di perjalanan kami sempat khawatir karena hujan turun dengan lebat, padahal hari sudah hampir malam. Di salah satu blog menuliskan kalau pada malam hari tidak ada angkot dari Turen ke Sendang biru. Wah, adrenalin terpompa lagi, masalahnya tempat kita berada itu bukan seperti malang yang teratur. Sungguh ajaib, di saat sedang kesulitan pasti ada saja pertolongan. Saya jadi teringat perjalanan saya ke Lombok yang dibantu oleh bli Yudi, kali ini saya ditolong oleh mas Anto.


Dia mengusulkan, bagaimana kalau kami menginap di rumah saudaranya saja dan pergi esok harinya. Saat itu sudah malam, kami tidak punya banyak pilihan. Sebenarnya kami agak ragu menerima ajakan dari orang asing, tapi dia sedang pergi bersama istrinya, jadi kesimpulan kami dia orang yang bisa dipercaya. Dibandingkan resiko tidur di terminal, lebih baik saya menyetujui tawaran dia saja. Oleh sebab itu, saya sarankan lebih baik kalau mau ke Sendang biru berangkat pagi-pagi sekalian biar sampai di sana siang hari, jadi tidak bernasib seperti kami,hehe... Rombongan kami pun segera menuju Turen. Tarif bis Gadang-Turen Rp 10.000,- untuk membalas kebaikan dia dan istrinya, kami membayar ongkos bis mereka. Waktu tempuh ke turen mungkin hanya 45 menit, saya kemudian mencoba menanyakan angkot ke Sendang biru. Setelah tanya sana-sini, memang benar angkutannya sudah tidak ada. Kami pun naik ojek ke tempat saudaranya mas Anto di daerah Turen.


Kami disambut hangat oleh keluarganya mas Anto. Menjelang tidur, saya sempat mengobrol dengan mas Anto, dia mengatakan daerah menuju Sendang biru adalah tempat bajing loncat beraksi, makanya kalau malam jarang ada mobil yang mau melitansi daerah itu. Mas Anto sendiri adalah supir angkot di Surabaya, dia bilang sekarang sedang mau ke rumah saudaranya. Dari kejadian ini, sungguh membuat petualangan kami menjadi lebih berwarna. Kehidupan memang tidak bisa ditebak, saya jadi semakin yakin untuk backpacking ke luar negeri setelah melihat kenyataan bahwa di dunia ini masih ada orang-orang baik seperti mas Anto dan bli Yudi. Semua sudah saya buktikan dan saya alami ketika sedang mendapat kesulitan pasti ada saja dewa penolong yang akan membantu kita. Jadi jangan terlalu khawatir, banyak berdo’a saja, Tuhan pasti menolong kita. Setelah beberapa lama mengobrol dengan mas Anto, saya jadi mengantuk, lalu saya minta ijin untuk istirahat agar besok bisa fresh melanjutkan petualangan ke Sendang biru.


- bis ekonomi Probolinggo-Malang : Rp 14.000,-

- angkot ke terminal Gadang : Rp 8.000,-

(sebenarnya hanya Rp 6.000,-, karena tahu kami pendatang si supir menaikkan ongkos. Saya sempat ngotot ke supir, tapi melihat kondisi di lapangan saya merelakan saja)

- bis Gadang-Turen : Rp 10.000,-


Hari keempat

Minggu, 7 Maret 2010


Inilah klimaks perjalanan kali ini yaitu ke pulau Sempu, sebuah pulau eksotis yang berada di tepian samudera Hindia yang tidak dihuni manusia. Subuh, kami sudah bangun, sambil menunggu pagi saya main HP saja, karena penghuni rumah yang lain juga masih tertidur lelap. Waktu menunjukan pukul 07.00, mulai terasa adanya tanda-tanda kehidupan di rumah. Saya disuguhi teh hangat dan cemilan (tidak tahu namanya), pemilik rumah kemudian memasak sarapan untuk kami. Dalam hati saya sangat tidak enak harus merepotkan seperti ini, yah mau bagaimana lagi, masa nasib baik mau ditolak,hehe...setelah semua selesai sarapan, kami mandi dan bersiap kembali ke Turen untuk ke Sendang biru. Sampai Turen kami langsung naik mobil ke Sendang biru, mobilnya tidak beda jauh seperti yang di Bromo. Malah parahnya, kalau ke Bromo cuma mengangkut orang, kali ini banyak sekali sayur-sayuran yang diangkut, bahkan beberapa ekor ayam juga masuk ke mobil, ealaaah.

Perjalanan sangat menyenangkan, walaupun jalurnya berkelok-kelok, tapi bukan merupakan perbukitan jadi saya tidak was-was lagi mobil nyemplung ke jurang. Di kiri dan kanan terhampar perkebunan entah itu kelapa, karet, dan perkebunan warga, pokoknya jalannya teduh sekali. Mobil sempat berhenti lama menunggu penumpang, mereka seakan tidak mau rugi walaupun hanya satu orang penumpang mereka tetap menunggunya, tidak peduli orang-orang di mobil berteriak “cepet jalan, bang”. Waktu tempuh ke Sendang biru kurang lebih satu jam lebih, tergantung dari lama si supir mangkal. Tenang saja, di daerah Jawa, kemacetan jarang dijumpai jadi kalau perjalanannya lama, ya paling karena ngetem nunggu penumpang. Setelah sampai di perkampungan nelayan Sendang biru, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada mas Anto yang sudah banyak membantu.


Petualangan pun berlanjut. Sebelum menyebrang ke pulau, kami diharuskan melapor ke BKSDA (Badan Konservasi Sumber Daya Alam) pulau sempu. Petugas mengatakan, seharusnya saya membuat ijin dari BKSDA pusat di Jakarta atau di Surabaya. Inilah enaknya tinggal di Indonesia, peraturan yang rumit pun bisa jadi fleksibel dengan diplomasi,hehe... saya bilang ke dia, “wah, pak, masa saya harus balik lagi?” kemudian dia memberi solusi dengan memberikan surat ijin sementara. Di form itu saya harus menulis keterangan berkunjung ke pulau dan menyangkut informasi identitas kami. Tidak lupa, sedikit uang “retribusi” yang jumlahnya bisa di nego. Waktu itu saya sih, kasih Rp 20.000,- walau kata penduduk, “kasih saja Rp 10.000,-“. Ijin sudah didapat, sekarang tinggal mencari perahu untuk menyebrang. Mencarinya mudah, kok, di gerbang depan sebelum masuk ada sebuah rumah yang banyak tempelan stiker-stiker dari para grup pencinta alam yang sudah berkunjung ke pulau Sempu atau tanya saja penduduk dimana tukang perahu untuk menyebrang. Untuk menyebrang dikenai tarif Rp 100.000,- PP satu perahu, jadi kalau ada 10 orang biayanya bisa di share.


Jantung sudah berdegub kencang tidak sabar menjelajahi pulau Sempu, saya kemudian membeli beberapa logistik tambahan dan minyak tanah untuk buat api unggun. Sewaktu melapor di BKSDA tadi, petugas memperingatkan kalau pulau Sempu adalah pulau konservasi, jadi masih banyak sekali ular dan hewan-hewan hutan, malah katanya ada macan tutulnya, walah!!!. Saya mengecek lagi kelengkapan, takut masih ada yang kurang. Bodohnya saya cuma menjatah air minum 3 liter per orang, hal yang membuat kami harus pulang cepat dari jadwal karena hampir kehausan di pulau,wakaka... sebenarnya kami sudah diperingatkan saat di perahu, “mas, memang air segitu cukup” dengan pede-nya saya bilang “iya, pak” saya lupa, kalau di pulau tidak ada warung,hehe... perahu menyusuri air dengan perlahan, kami sendiri sudah pasrah saja dengan apa yang terjadi nanti. Perlu diingat, di pulau Sempu tidak ada sinyal HP (kecuali di bibir pantai) dan tidak ada listrik, jadi pastikan HP ada pulsa, baterainya penuh, dan ada HP cadangan. Masalahnya untuk pulang ke Sendang biru satu-satunya alat komunikasi ya, lewat HP.

Tidak lama, perahu merapat ke bibir pantai, karena ini wilayah konservasi jadi tidak ada dermaganya. Jadi kami harus basah-basahan ke pantai. Setelah semua barang diangkut ke pantai, perahu pun meninggalkan kami. Sejenak saya bengong melihat kepergian perahu, menimbang-nimbang apa tindakan saya ke sini tepat atau tidak. Ketika perahu sudah tidak terlihat, saya mulai sadar kalau waktu kami menuju segara anakan tempat base camp kemping memakan waktu 2 jam perjalanan dan saat itu haru sudah sore sekali. Pada awalnya, jalurnya berupa tanaman bakau menandakan masih daerah pantai, lama kelamaan vegetasinya sudah semakin berbeda dan semakin rimbun. Mitra yang tidak biasa ke hutan (padahal dari Kalimantan) jatuh berkali-kali saat menginjak tanah yang licin habis hujan. Semakin masuk ke dalam hutan, semakin ciut nyali kami. Kali ini tidak hanya Mitra, tapi Bee juga jatuh terpeleset. Saya sempat bingung juga, bagaimana caranya membuat mereka jalan lebih cepat. Saya cuma khawatir jangan sampai kami masih di hutan ketika malam tiba. Alhasil, saya menyuruh Mitra untuk memegang akar pohon, yah semacam tali yang dikaitkan saat mendaki gunung es agar saya bisa menahan dia kalau mau jatuh. Tapi, cara itu tetap tidak berhasil juga.


Sinar matahari sudah semakin lemah menyinari rerimbunan pohon, tanda malam semakin dekat. Saya jadi merinding sendiri, kalau harus berkemah di hutan. Waktu siang hari saja, sudah banyak serangga yang berkeliaran, seperti nyamuk yang super besar, kaki seribu, kelabang, dan makhluk kecil-kecil yang saya tidak tahu namanya. Wah, tidak terbayangkan bagaimana rupa penghuni hutan waktu malam hari. Selama di dalam hutan, banyak sekali monyet berkejar-kejaran. Suasana begitu hening, namun ramai oleh suara alam. Suatu kontradiksi yang saya pikir sangat aneh, keheningan di dalam keramaian. Keheningan benar-benar terasa kalau kami berhenti untuk istirahat. Jika mengamati sekeliling seakan-akan ada sesuatu yang mengawasi kita, jauh di balik rerimbunan pohon. Lalu tiba-tiba ada saja suara-suara aneh terdengar, seperti orang yang menginjak ranting, tapi setelah saya berhenti berjalan suara itu juga berhenti. Saya jadi ingat film predator, dalam hati wah jangan-jangan saya sedang diikuti predator,haha... deru pantai terdengar berkali-kali, menyiratkan bahwa tujuan kami sudah dekat, ternyata kami salah setelah berjalan lama segara anakan belum juga terlihat. Saat ada deru pantai lagi, kami tidak percaya begitu saja, karena perjalanan kami memang masih jauh.

Kalau bisa dilukiskan, saat itu perasaan saya campur aduk. Saya tidak mungkin menyuruh Mitra jalan lebih cepat, tapi saya juga takut sekali karena malam sudah menanti. Apalagi saat bayangan pohon mulai menghilang, tanda matahari sudah hampir tenggelam. Idealnya waktu tempuh perjalanan hanya 2 jam. Tapi, dengan kondisi habis hujan ditambah saya baru pertama kali ke sana, sehingga waktu tempuhnya menjadi lebih lama. Kami berjalan 15 menit dan istirahat 5 menit, begitu seterusnya. Sekali lagi, tidak mungkin saya paksakan mereka berjalan terus di medan yang cukup berat itu. Kali ini malam benar-benar datang, kelelawar sudah beterbangan mengitari kami, kadang-kadang ada yang hampir menabrak wajah kami. Saya masih belum tahu berapa jauh lagi segara anakan. Kemudian, saya menyuruh mereka mengeluarkan senter sebagai penuntun jalan agar bisa melihat jalur. Sekarang, sekeliling kami sudah gelap, hampir tidak terlihat apa-apa. Saya semakin merinding, jujur saja saya agak takut yang namanya hantu,hehe... berkali-kali bunyi “brukk” terdengar, saya berpikir mungkin cuma ranting atau buah yang jatuh. Tapi, otak saya tidak bisa dibohongi, pikiran semakin ngelantur kemana-mana. Saya membayangkan bagaimana kalau ada gondoruwo di hutan itu, waaaa.... degub jantung tidak henti-hentinya berdebar-debar.


Berjalan hanya bertiga di tengah hutan pada malam hari bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Kalau dihitung, kami sudah berjalan hampir 3 jam, tapi belum juga mencapai segara anakan. Walau suara hutan sudah kami dengar sejak memasuki hutan, namun suara “brukk” itu masih membuat saya deg-degan. Belum lagi suara burung “kaaak kaaak” dan suara kepakan sayap kalelawar yang menderu-deru. Menurut saya sih, yang paling seram adalah suara monyet. Saat mereka sedang kejar-kejaran, rasanya seperti ada seseorang yang berlari menubruk dahan-dahan, apalagi kalau suaranya mengarah kepada kita. Mana suara monyetnya seram sekali, mereka bersuara “nguuk ngukk”. Suaranya seakan ada di dekat kita, tapi setelah di senter tidak ada apa-apa, mungkin dia sembunyi di balik pohon.


Akhirnya, penantian kami terbayarkan. Kami sampai segara anakan jam 7 malam, di segara anakan tempatnya agak terang karena cahaya bintang dan bulan. Beda sekali dengan di dalam hutan yang gelap pekat. Kemudian saya bersiap mendirikan tenda, lalu kami bertiga menenangkan diri setelah apa yang dilalui di hutan. Perasaan takut masih saja datang, ingat cuma kami yang kemping di pulau ini. Jadi apapun yang terjadi, pasti tidak ada orang yang menolong. Belum lagi kalau terjadi sesuatu, kami harus melewati hutan yang tadi lagi. Wah, saya berdo’a saja, semoga kami selamat sampai pagi. Untuk makan malam, kami makan roti yang sudah beli di Indomart. Niatnya saya mau tidur di luar pakai sleeping bag beralaskan matras dengan di double pakai ponco biar tidak basah oleh embun, karena tenda yang dibawa Mitra adalah tenda anak-anak yang sangat sempit untuk bertiga. Namun tidak lama saya tidur, ada sesuatu yang menarik perlahan ponco saya. Tarikannya sangat pelan, seakan dia tidak mau saya terbangun. Karena saya juga belum tidur, lalu saya singkap ponco dan mulai memeriksa. Sulit rasanya untuk tidur, bila celana kotor belepotan oleh lumpur waktu di hutan tadi, suara nyamuk yang selalu berputar-putar di telinga, dan “berisiknya” suara alam mulai dari jangkrik, monyet, burung, musang, pokoknya seperti di kebun binatang saja. Setelah memeriksa sekeliling, saya tidak menemukan apa-apa. Saya pikir cuma monyet yang iseng, tapi kok, nggak ada monyet yang lari, ya. Kemudian saya tidur lagi, tidak sampai dua menit ada yang menarik lagi, kali ini saya diamkan saja. Saat saya membuka mata, tarikan berhenti, pokoknya “sesuatu” itu menarik ponco, ketika saya menutup mata saja. “sreet” ponco ditarik lagi, sekarang hampir sebagian sleeping bag saya tidak terlindungi ponco. Saya sudah takut sekali, makanya tanpa berani menyingkap ponco, saya teriak ke Mitra yang tidur di tenda agar segera menyenter ke arah saya, tapi dia bilang tidak ada apa-apa.


Saya tidak punya nyali lagi untuk tidur di luar, jadinya kami bertiga tidur di dalam tenda, haha...walau kaki saya keluar karena tidak muat, tidak apalah dari pada badan saya yang di luar tenda. Suara monyet, burung, dan kalelawar selalu terdengar sepanjang malam, sehingga sulit untuk tidur nyenyak. Parahnya, tengah malam mungkin sekitar jam 3 saya mau ke kamar kecil, saya sempat berpikir untuk menahannya saja, tapi tetap tidak bisa. Agak nekat juga, saya kemudian keluar tenda dan mencari tempat buang air. Saya sengaja mencari tempat menjauh dari hutan dan lebih memilih tempat yang tidak ada pohonnya. Saya memilih resiko kelihatan buang air oleh Mitra dan Bee daripada harus bersembunyi di semak-semak hutan yang gelap gulita. Dengan tergesa-gesa saya kembali ke tenda sampai pagi hari datang, fiuh...


Teror malam berakhir sudah, di pagi hari segara anakan sangatlah indah. Tempat itu bagaikan milik kami saja, karena tidak ada seorang pun yang berkemah selain kami bertiga. Mitra dan Bee memilih untuk berenang, tapi saya lebih suka berjalan-jalan melihat ikan-ikan. Sebenarnya, saya mau berenang, namun saya malas membawa pakaian kotor yang basah, makanya saya menolak ajakan mereka untuk berenang. Kecantikan segara anakan sulit digambarkan dengan kosakata yang ada, tempat itu seperti the paradis on the earth saja. Sayang banyak sekali sampah yang ditinggalkan, saya lalu inisiatif untuk mengumpulkan semuanya dan membakarnya. Sekarang tampilan, segara anakan menjadi lebih indah tanpa sampah.

tolong kumpulin lagi sampahnya, ya.

airnya jernih sekali

seperti pantai pribadi, kan!

ini samudera Hindia, waktu malam sempat ada badai.


Masalah muncul saat mau sarapan, kami kesulitan membuat api untuk merebus air. Sebagian besar kayu di hutan adalah kayu basah yang masih berkambium, sedangkan sekalipun ada ranting kering, ukurannya segede gaban. Karena tidak membawa pisau, jadi sulit untuk memotongnya. Sudah dicoba dipotek tetap, tidak bisa juga. Akhirnya kami mengumpulkan sisa arang dari orang-orang yang kemping di sini. Ide itu berhasil, kami pun bisa membuat kopi dan pop-mie,hehe... seharusnya kami menetap 2 malam, karena melihat stok air yang kurang, kami putuskan untuk pulang saja. Teringat perjalanan kemarin, kami pulang jam 12-an. Sehingga sampai di pantai sekitar jam 3, agar tidak kesorean. Selama melewati hutan, kami semakin terbiasa dengan suara-suara yang ada, Mitra juga sudah jarang terjatuh karena tanahnya tidak selicin kemarin. Sampai di pantai, saya mengirim sms ke nahkoda perahu supaya menjemput kami. Dalam penantian itu, banyak grup pencinta alam yang datang ingin berkemah di segara anakan. Satu rombongan, bisa sampai 20 orang, (wah kalau begini sih, saya juga berani,hehe...) 15 menit menunggu, perahu datang menjemput. Saat itu sudah sangat sore, jadi kami minta ijin menginap di kantor BKSDA (gratis... tis...). besoknya kami pulang ke Jakarta dengan menggunakan kereta Matarmaja yang berangkat jam 2, sehingga kami sampai di Jakarta jam 8 pagi.


sumber air laguna berasal dari samudera Hindia yang melewati celah karang


sudah bersih dari sampah


the survivors on the island


kantor BKSDA tempat kami menginap

- perahu : Rp 100.000,-

- tiket masuk Sendang biru : Rp 3.000,-

- bayar uang “retribusi” BKSDA : Rp 20.000,-

- minyak tanah : Rp 8.000,-

- angkot Turen-Sendang biru : Rp 12.000,-




Pelajaran yang saya dapat saat backpacking kali ini, yaitu jangan takut untuk berpetualang dan menjelajahi tempat-tempat baru. Asalkan persiapan kita memadai, semua akan baik-baik saja. Tiap masalah yang ditemui, pasti ada jalan keluarnya, percayalah pada diri sendiri dan gunakan insting bila merasa ragu. Justru masalah yang kita hadapi selama backpacking akan membuat kita menjadi pribadi yang tangguh dan tidak cengeng. Beberapa blog yang saya baca mengenai panduan ke Bromo dan pulau Sempu, banyak dari mereka yang memakai motor atau mobil charteran, sehingga akan menyulitkan bagi orang-orang seperti saya ini yang mengandalkan trayek angkutan Tapi, semua perjalanan ini saya lakukan mengikuti jalur trayek angkutan, tidak ada yang memakai motor (kecuali di Bromo) atau mobil sewaan, jadi kalau saya BISA melakukannya, anda pun pasti BISA. SELAMAT BERPETUALANG!!