Minggu, 18 November 2012

Backpacking Part 7 (Singapura)


Elegi dalam sebuah prolog...

Singapura merupakan negara terakhir sekaligus menjadi negara penutup perjalanan trilogy Thailand-Malaysia-Singapura kali ini. Perjalanan yang menjadi pencapaian luar biasa untuk seorang backpacker anak bawang yang mempunyai impian besar menjejakkan kakinya ke altar suci Sorbonne* (kutipan dari novel Laskar Pelangi). Saya mulai menyadari kalau backpacking bukan sekedar ajang jalan-jalan semata, karena sejak perencanaan awal kita sudah ditantang untuk mengatasi masalah demi masalah yang menghampiri. Masalah-masalah itu akan menjadikan kita individu yang berbeda, seorang individu yang benar-benar baru. Kita seakan terlahir kembali dari jeratan kelam yang namanya rutinitas.

Coba bayangkan sebagai mahasiswa yang hanya diberi uang saku Rp 25.000/ hari, jalan-jalan keluar negeri bisa dikatakan cuma mimpi di siang bolong. Teman-teman saya sering bilang “ah, omdo (omong doang) kalau lo bisa ke luar negeri”. Mulai dari situ keyakinan kita terhadap diri sendiri akan diuji. Sejujurnya perkataan teman saya ada benarnya kalau melihat kondisi keuangan dan kesibukan saat itu, apalagi saya masih belum lulus kuliah... eh, malah nyeleneh mau jalan-jalan buang waktu dan uang. Gila, ya..?

Mungkin waktu itu saya memang gila karena dengan pede-nya bilang ke teman-teman akan backpacking menaklukkan daratan Eropa (efek membaca novel Laskar Pelangi Andrea Hirata), apalagi saat itu saya sudah beli buku-buku “traveling hemat ke luar negeri”. Namun apa lacur (bahasanya mantep, ya? wkwkwk...), ketika angan dituangkan ke dalam dunia nyata dan ternyata terjadi aksi tolak-menolak kita harus berkompromi dengan yang namanya KENYATAAN (duh...). Saya seakan merasa terbodohi dengan buku-buku yang menulis embel-embel “Backpacking murah ke Eropa”, “Keliling Eropa cuma 10 juta”, dan masih banyak “gula-gula” lainnya. Disaat saya mulai serius dengan impian ke Eropa, lamunan saya buyar karena kenyataannya untuk pergi ke benua biru tidak semurah yang tertulis di buku. Judul-judul indah tersebut sebenarnya hanya pemanis marketing bak celotehan sales MLM belaka.

Setelah ditelusuri dan turun ke lapangan untuk mendapatkan visa Eropa saja kita harus punya tabungan minimal 20 juta atau mungkin lebih, beli ansuransi, tiket pesawat seharga biaya kuliah saya 7 semester, dan masih banyak lagi. Kalau diteruskan mungkin akan membuat kita pesimis seumur hidup bisa melihat menara Eiffel, hahaha... Bahkan untuk pesan tiket pesawat saja kadang diharuskan memakai kartu kredit. Untuk ukuran mahasiswa siapa yang sanggup mengajukan aplikasi kartu kredit yang mengharuskan memiliki penghasilan 25 juta/ tahun? Yang lebih konyol lagi, tak jarang biaya di lapangan tidak persis sama dengan yang ada di buku-buku itu. Di buku ditulis untuk keliling Eropa 6 bulan hanya butuh 10 juta, ternyata itu belum termasuk makan, belum termasuk biaya penginapan, atau malah belum termasuk tiket pesawat (bangke beut). Loh, jadi orang-orang penulis buku itu bilang diri mereka backpacker kere, traveler miskin, atau semacamnya padahal mereka punya kartu kredit di dompet, punya simpanan puluhan juta di tabungan, dan  kerabat di luar negeri, ckckck....

Untuk itu saya harus merombak ulang strategi untuk “menginvasi” Eropa. Ibarat tangga, mungkin saya harus memulainya dari anak tangga terendah. Daratan Eropa masih terlalu suci untuk diinjak tanahnya oleh seorang mahasiswa seperti saya (tapi sekarang sudah lulus, weee....). Backpacking trilogy Thailand – Malaysia – Singapura telah menjadi anak-anak tangga yang akan mengantarkan saya ke singgasana kerajaan Eropa. Sampai dimana sih, batasan impian seseorang? Maksud saya dimana batasan antara sebuah mimpi gila dengan mimpi yang bisa kita realisasikan dari angan menjadi kenyataan? Sudah saya singgung sebelumnya, bahkan untuk pergi ketiga negara ini saja banyak teman-teman yang tidak setuju dengan keputusan gila saya yang lebih memilih backpacking daripada mengerjakan skripsi. Namun setelah sampai di Singapura, saya baru tahu JAWABANNYA. Mana mimpi yang harus kita abaikan dan mana mimpi yang kita harus perjuangkan sampai akhir.

Anak-anak tangga impian...

Bis yang mengantar saya dari Kuala Lumpur meluncur cepat di jalan tol yang mulus menuju Singapura. Kualitas jalan tol di Malaysia lebih baik daripada di Thailand. Jalan di sini hampir sama dengan di Indonesia yaitu campuran aspal hot mix. Karena tidak ada yang dikerjakan selama perjalanan saya tidur saja di dalam bis. Sampai di Kota Bahru, bis berhenti sebentar untuk mempersilakan penumpang makan siang. Saat itu, saya sudah tidak punya uang ringgit lagi jadi terpaksa bengong melihat orang-orang yang sedang makan,hehe... Tak lama, bis pun kembali melanjutkan perjalanan.

Beberapa saat kemudian tampak sebuah jembatan panjang membentang dihadapan saya. Itu menandakan saya sudah sampai di Woodland perbatasan Malaysia - Singapura. Semua penumpang disuruh turun dari bis tanpa membawa barang bawaan, karena kita hanya dicap paspor di pos bagian Malaysia. Sedangkan di pos bagian Singapura, semua penumpang turun sambil membawa barang bawaan. Dasar sial, saya lupa melengkapi kartu imigrasi kedatangan (kartu yang berwarna putih). Di saat semua orang sudah selesai melewati imigrasi, tinggal saya seorang yang masih kerepotan mengisi lembar kedatangan. Petugas pun memanggil saya, “hey, you! hurry up! hurry up!”. Saya bilang “wait a minute”. Mungkin karena tidak sabaran akhirnya saya dihampiri petugas dan dia bilang kalau saya tidak perlu mengisi lembar imigrasi lagi. “You wait here!”, kata dia setengah membentak. Wah... Saya pikir urusannya bakal panjang kalau seperti ini. muka saya sudah pucat,haha... Saat itu, saya pun diliputi suatu perasaan yang tidak bisa ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hehe... (lebay).

Perasaan saya campur aduk. Bernafas pun terasa berat. Saya jadi satu-satunya penumpang yang masih di ruang imigrasi. Tiba-tiba ada petugas datang dan saya diminta (lebih tepatnya disuruh) untuk mengikutinya. Berbagai pintu akses saya lewati, mulai dari yang pakai kartu sampai yang pakai nomor sandi. Akan dibawa kemana saya. Jangan-jangan saya bakal disiksa seperti di film-film, hahaha.... Setelah jalan agak jauh, saya memasuki sebuah ruangan seperti lobi yang di dalamnya sudah ada beberapa orang yang senasib sepenanggungan. Fiuh... sepertinya saya tidak sendirian. Legaaa...

Bersiap untuk diinvestigasi petugas imigrasi
Semua orang di dalam ruangan semua bermuka pucat seperti baru dapat tagihan utang 1 milyar, wkwkwk... Lalu saya berinisiatif untuk mencairkan suasana. Dengan gaya sok santai, padahal dalam hati juga harap-harap cemas,haha... Saya katakan kepada mereka kalau ini cuma pemeriksaan acak yang biasa dilakukan petugas. Saya bilang jawab saja semua pertanyaan mereka, pasti kita akan dibebaskan (ngemeng banget). Tapi sepertinya mereka sedikit tenang mendengar penjelasan saya :p. Dilihat dari penampilan memang kita semua “sedikit” mencurigakan, haha... Kebanyakan dari mereka adalah orang yang baru pertama kali backpacking dan ada juga orang yang mau kerja di Singapura.

Setelah beberapa lama menunggu, kami dipanggil satu-satu. Pikiran saya, “waduh bisa ditinggal bis kalau begini”. Beruntung saya sudah banyak riset lewat internet, jadi saya tidak terlalu khawatir. Untuk penumpang yang bermasalah dengan imigrasi, kita dapat menaiki bis berikutnya dengan catatan dari perusahaan yang sama. Oleh sebab itu simpan baik-baik tiket bis yang ada. Saya kemudian digiring menuju suatu ruangan investigasi bak penjahat buruan FBI, haha... Di dalam ruangan sudah ada chief kantor imigrasi dengan berbagai emblem terpasang di dada yang cukup imidatif. Dia melirik paspor hijau saya. “cakap english?”, katanya. “yes, sir”, kata saya. Selama beberapa menit saya diinterogasi mengenai tujuan saya ke Singapura. Saya jawab semua pertanyaan dia dengan penuh percaya diri. Untuk lebih meyakinkan kalau saya bukan ingin bekerja dan mampu membiayai perjalanan selama di Singapura, saya bilang, “don’t worry, i have credit card” sambil menunjukkan kartu ATM BNI, wkwkwk... Untung dia tidak ngeh kalau yang saya keluarkan itu cuma kartu ATM yang sedikit mirip kartu kredit, haha... Kemudian dengan senyum indah pepsodent, dia menginjinkan saya melanjutkan perjalanan. “Welcome to Singapore”, katanya.

Perbatasan bagian Singapura
Dari semua yang ada di lobi cuma satu orang yang harus kembali ke Malaysia, untung bukan saya. Akibat masalah remeh temeh tadi, saya kehilangan banyak waktu untuk mencari penginapan. Saya sampai ke pusat kota menjelang sore dengan menumpang bis reguler, karena bis yang saya tunggu tidak kunjung datang juga. Dan untuk itu terpaksa saya harus keluar uang lagi. Emosi saya benar-benar diuji ketika harus mencari penginapan. Satu demi satu penginapan yang ada di dalam daftar saya datangi hanya untuk mendapat jawaban “sorry, we are full booked” duh... Keadaan tubuh yang lelah karena puasa membuat saya agak gontai membawa dua tas yang penuh muatan.

Matahari di negeri singa ini rupanya cukup sangar, keringat saya pun bercucuran tak habis-habisnya karena kombinasi cuaca panas, beban berat, ibadah puasa, dan berjalan jauh. Setiap gang saya masuki untuk mencari penginapan tapi hasilnya nihil padahal daftar penginapan di catatan hampir semua sudah saya datangi dan semua penuh. Saya akhirnya menemukan warnet seharga 1 SGD/ jam. Kesempatan itu saya gunakan untuk mencari hostel-hostel di sekitaran Little India yang mungkin belum sempat saya periksa. Saya kemudian mencatat beberapa nama hostel dan mulai mencari lagi. Asa sudah semakin menipis karena terlalu lama dan terlalu jauh berjalan dengan membawa gembolan yang beraaaat banget. Saya pun mulai kehilangan akal sehat. Dompet di saku saya keluarkan. Saya intip masih ada 300 USD bersembunyi di sana, belum termasuk 5 juta di ATM. Wah, sepertinya harus pakai taksi untuk mencari alamat-alamat yang ada. Bila perlu saya mau pakai HOTEL saja (gak ada “S”-nya, CATET). Sebenarnya naik taksi dan menginap di hotel untuk seorang backpacker adalah hal TABU. Mungkin kalau sesama backpacker tahu akan menjadi bahan lawakan di hostel. Tapi, kondisi saya benar-benar sudah lemas dan harus sedikit merendahkan idealisme seorang backpacker. Dasar apes, beberapa taksi saya panggil semuanya tidak mengetahui letak hostel-hostel yang ada di catatan. Terpaksa saya jalan lagi (sompret...).

Untuk informasi sesama backpacker pemula, saya mau kasih tahu beberapa hal tabu di dalam dunia backpacker. Yang saya jabarkan ini sifatnya tidak mengikat, karena ini bukan aturan tertulis tetapi hanya aturan umum saja yang berlaku di dalam backpacking. 1) Sebaiknya jangan menggunakan taksi.
Selain biaya taksi yang bisa dua kali lipat dari angkutan reguler, konsep penggunaan taksi hampir sama layaknya bos dengan supirnya. Penumpang taksi merasa berada satu strata di atas supir taksi. Padahal seorang backpacker mirip dengan kaum hippies yang jengah dengan kemapanan dan kapitalisme.
2) Sebaiknya cuci piring setelah sarapan dan menaruh sendiri cover bed ke tempat cucian.
Ada cerita lucu di hostel, pernah ada seorang backpacker pemula yang tidak pernah mencuci piring sehabis makan entah karena tidak tahu atau terbiasa di rumah seperti itu, sampai membuat karyawan hostel kesal dan bilang kepadanya “hey, anak orang kaya! siapa yang mau cuci? gw bukan pembantu lo!”. Jangan sampai kisah itu menjadi pengalaman pribadi, ya. Ingat, karyawan hostel tugasnya untuk mencatat pembukuan tamu saja. Di hostel-hostel yang banyak orang barat-nya, semua hal kita harus lakukan sendiri karena mereka tidak mengenal yang namanya “pembantu”.
3) Backpacker jarang beli oleh-oleh.
Secara umum seorang backpacker sering berpindah dari satu negara ke negara lain. Jadi kalau harus membeli oleh-oleh ketika sampai di satu negara akan membuat kapasitas tas mereka penuh dan menambah pos pengeluaran untuk hal yang tidak penting. Mereka lebih suka mempunyai kenang-kenangan berupa foto daripada cinderamata. Tapi, karena kebanyakan orang Indonesia paling banyak berkunjung ke 3 atau 4 negara saja, sehingga untuk membeli oleh-oleh rasanya tidak terlalu memberatkan.
4) Jangan pakai koper.
Saya juga pernah dengar sebuah cerita lucu lainnya. Suatu saat ada cowok yang mau menginap di hostel dengan membawa koper. Dengan lugasnya petugas hostel bilang “maaf! kalau hotel di sebelah sana”, wkwkwk...
Sebenarnya masih banyak aturan tidak tertulis dalam dunia backpacker, sisanya bisa dicari di internet atau buku-buku seperti Lonely Planet dan semacamnya.

Di jalan saya menemukan sebuah hotel yang kelihatan cocok untuk semi-backpacker seperti saya. Saya lalu bertanya ke resepsionis berapa rate satu malam di hotel ini. Dia bilang harga untuk menginap satu malam adalah 100 SGD. Wah lumayan juga harganya, pikir saya. Saat itu saya tidak langsung mengambil kamar di hotel itu. Saya mau mencoba mencari hostel sekali lagi, kalau tidak ada baru saya kembali ke sana. Kemudian saya berjalan satu blok, dua blok, tiga blok. Ah, sudahlah. Saya menyerah saja. Hari sudah mulai gelap, azdan maghrib juga sebentar lagi berkumandang. Saya lalu pergi ke 7 eleven untuk beli air minum. Busettt dah, air kemasan di Singapura ternyata amat sangat mahal sekali. Tidak mau rugi beli air putih seharga Coca-Cola, saya pun membeli salah satu air berkarbonisasi yang harganya tidak jauh beda dengan air putih meskipun satu hari penuh belum makan apa-apa.

satu menit... lima menit... sepuluh menit sudah lewat, tapi menurut pengamatan saya belum juga adzan berkumandang. Oh, mungkin karena tidak ada masjid di dekat situ. Jadi saya memutuskan untuk membatalkan puasa saja. Ketika akan kembali ke hotel yang tadi, saya akhirnya menemukan sebuah penginapan. Tak banyak bicara, saya langsung ke sana dan memastikan apakah ada kamar kosong. Mereka bilang “ada”. Saya teriak “Yes” dalam hati. Selamatlah uang yang bakal saya pakai untuk ke Universal Studio, hahaha... Penginapan itu seharga 18 SGD saja per malam. Saya jadi bisa menghemat untuk banyak hal. Tapi kalau bukan karena lagi backpacking, saya enggan untuk menginap di sana. Ternyata penginapan itu tempat tinggal para pekerja di Singapura. Banyak orang India, Mongolia, dan orang Singapura. Jadi itu sama sekali bukan tempat menginap untuk backpacker. Saya sebenarnya agak takut juga satu kamar atau bahkan satu gedung isinya orang India dan sebangsanya semua. Penerangan gedungnya agak temaram. Di sana sini tergantung beraneka ragam jemuran sebangsa handuk, celana dalam, baju, celana, dan semacamnya. Tempat tidurnya seperti tidak pernah dibersihkan. Pokoknya saya berusaha untuk tidur tidak terlalu lelap nanti malam untuk menghindari “sesuatu” hal yang tidak diinginkan terjadi, wkwkwk....

Malamnya saya sholat tarawih di masjid di dekat penginapan. Kebetulan saya melihat ada teman sekamar yang juga sholat di sana. Saya kemudian berkenalan. Namanya saya lupa, tapi namanya sangat berbau Singapura anggap saja namanya Zohir (bukan mawar). Saya mungkin satu-satunya tamu di penginapan itu, jadi saya harus membentuk aliansi sehingga ada orang yang bisa saya mintai tolong saat situasi darurat. Kondisi gedung dan para penghuninya sangat membuat saya cemas. Mau tak mau saya harus mencari teman yang bisa dipercaya dan hanya Zohir yang kelihatannya bisa dipercaya. Saya bertanya, kenapa dia tinggal di penginapan padahal dia orang Singapura asli. Dia bilang harga rumah di sini sangat mahal. Harga 18 SGD untuk sebuah kamar memang murah tetapi kalau setiap hari membayar 18 SGD rasanya cukup berat juga. Dia bilang, ada potongan harga untuk penghuni tetap. Saya hanya bilang, “ooooh”.

Pagi-pagi sekali saya sudah mencari hostel baru, saya tidak tahan untuk tinggal walaupun hanya satu malam di sana. Tas saya tinggal agar pencarian lebih mudah. Barang-barang berharga saya masukkan ke dalam loker. Saya datangi hostel-hostel yang kemarin berharap ada tamu yang check-out.  Ternyata benar. Tanpa pikir panjang saya langsung bayar kamar dan mengambil tas di penginapan. Saya mengucapkan selamat tinggal pada Zohir dan memberinya sekantung kacang almond yang saya beli di Kuala Lumpur. Yeee... akhirnya saya dapat hostel backpacker yang sesungguhnya. Harganya memang lebih mahal 22 SGD/ malam tapi dengan kondisi kamar dan penghuninya yang lebih “beradab” dan lebih cihuy (banyak cewek cakep, coy...) membayar dengan harga segitu jadi tidak masalah.

Di hostel ada internet gratis, saya lalu menghubungi Hannah via FB untuk memberitahunya kalau saya sekarang menginap di Drop Inn Hostel. Saya akan bertemu Hannah dan kakaknya lagi di Singapura. Malam ini saya bisa tidur dengan nyenyak,wkwkwk... Untuk mengisi waktu saya hanya main internet di ruang utama. Saya sudah terlalu lelah untuk jalan keluar. Di ruang utama saya banyak berkenalan dengan banyak backpacker yang sudah pro atau yang masih bau kencur kayak saya. Ada yang dari Norwegia, Belanda, Amerika, India (yah, dia lagi), Malaysia, dan masih banyak lagi. Salah satunya ada kakak beradik dari Taiwan (kakaknya lucu banget, coy). Kita semua mengobrol ngalor-ngidul. Untuk beberapa backpacker yang sudah pernah ke Indonesia saya tes penguasaan bahasanya. Rata-rata cuma bisa bilang “apa kabar?” dan “terima kasih” saja, haha...

Rasa senasib sepenanggungan sesama backpacker sungguh terasa. Keakraban dengan mudahnya terjalin walau baru saja kenal. Persaudaraan backpacker berlaku seumur hidup. Entah besok atau lusa atau beberapa tahun mendatang, kita semua mungkin akan bertemu kembali di suatu tempat. Makanya sebaiknya kita mencatat kontak atau sekedar alamat email teman-teman kita itu. Tiba-tiba, ketika sedang asyik mengobrol ada tamu dari Korea masuk ke lobi. Karena petugas tidak mengerti yang orang Korea katakan, lalu dia bertanya kepada semua orang di ruang utama “anyone can speak malay?” (lah... saya kira bahasa korea). Di ruang utama hanya saya dan Mandy yang orang Malaysia yang bicara melayu. Lalu, saya tanya ada apa. Kemudian dia menjelaskan masalahnya. Saya sempat terheran-heran, bagaimana orang korea bisa berbicara bahasa melayu sefasih itu. Tapi setelah saya perhatikan, bukan... sepertinya itu bukan bahasa melayu, tapi bahasa indonesia. WOW! Dengan bertambahnya orang korea, suasana di ruang utama semakin seru. Saya penasaran dari mana dia belajar bahasa indonesia. Jawabannya sekali lagi membuat saya terheran-heran. Namanya Song. Ternyata dia sedang belajar bahasa indonesia di BIPA UI (ealah... orang Depok juga).

Besok harinya ada peringatan HUT Singapura di Marina Bay. Semua orang terlihat berbondong-bondong untuk melihat kemeriahan ulang tahun negeri singa itu. Ini Peristiwa yang sedikit langka. Oleh sebab itu, saya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menyaksikan kemegahan seremoni HUT Singapura. Cukup lama saya menunggu. Sampai tiba-tiba sebuah helikopter Chinook terbang rendah membuat para pengunjung terkejut karena gelegar suara baling-baling yang menderu-deru. Para penerjun pun beraksi meliuk-liuk di udara. Tak lama berselang manuver perahu boat melintas di antara pengunjung membentuk riak-riak air. Tampaknya seremoni sudah dimulai. Selama 2 jam, mata pengunjung dimanjakan dengan atraksi-atraksi dari angkatan udara Singapura. Perayaan lalu ditutup dengan pesta kembang api yang diluncurkan dari gedung-gedung tinggi sekitar Marina Bay. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan. Sebelum pergi ke Marina Bay, siang harinya saya menemani Song ke Kedutaan Besar Indonesia. Saya sudah menyambangi (bahasanya mantep, ye) KBRI di Bangkok, sekarang saya juga mau melihat KBRI di Singapura. Katanya gedung KBRI salah satu yang termewah di Singapura. Song pergi ke KBRI untuk mengajukan perpanjangan visa. Saya bilang kenapa tidak mengurus di Jakarta saja. Lalu, dia menjawab perpanjangan visa harus dilakukan di KBRI di luar negeri. Mungkin ini yang dimaksud dengan visa run (cari artinya di google).

Helikopter chinook yang dikawal helikopter apache

Untuk sampai hostel perlu sedikit perjuangan, karena saya harus bersaing dengan pengunjung lain untuk naik MRT. Saat itu ada lebih dari 80 ribu orang yang memadati Marina bay. Saya harus mencari stasiun MRT agak jauh agar terhindar dari kepadatan penumpang. Sampai di Hostel saya langsung mandi dan berkumpul ke ruang utama. Tiba-tiba pintu hostel yang terbuat dari kaca diketuk seseorang. Untuk masuk ke hostel kita memang harus memakai kartu pass atau minta bantuan orang yang sudah di dalam. Saya bilang “wait a moment” dan berjalan untuk membukakan pintu. Seorang wanita korea sudah berdiri di depan pintu yang terbuat dari kaca itu. Saya belum menyadarinya sampai wanita itu cengar-cengir melihat saya. Wow... ternyata itu Hannah dan kakaknya. Tidak disangka mereka sudah kembali dari Bali. Wah, asiiiik. Saya punya teman jalan lagi untuk pergi ke Sentosa besok pagi, hehe...

Sebagai hostel backpacker, fasilitas Drop Inn cukup lengkap. Tamu dimanjakan dengan internet gratis di ruang utama, wifi bagi yang mau pakai laptop sendiri, hot shower, sarapan pagi, dan free map. Sebelum pergi ke Sentosa, saya harus menunggu Hannah dan kakaknya sarapan dulu sambil berbincang-bincang dengan Joshua dan Flavia, kakak beradik dari Taiwan. Berkali-kali mereka berempat bilang “sorry, Fandi”, karena merasa tidak enak hati harus makan di depan saya yang sedang berpuasa. Mereka sungguh pengertian sekali. Setelah dirasa cukup sarapan, petualangan ke Sentosa pun dimulai. Yipeee... Saya pergi ke Sentosa ditemani Hannah dan kakaknya saja, karena Song harus kembali ke KBRI untuk memperpanjang visa.

Saya menghabiskan satu hari penuh di Sentosa. Waktu paling banyak saya habiskan di Universal Studio. Di sini saya dan Hannah berpisah karena dia mau berenang di pantai. Kalau boleh dibilang, dari segi luas dan banyaknya wahana, Dufan masih lebih baik dari US. Untuk taman hiburan seharga 63 SGD, seharusnya US bisa lebih baik lagi. Saya kembali ke hostel menjelang malam dan sangat terkejut melihat teman-teman satu hostel sudah berpakaian necis semua. Yang cowok berpakaian casual, sedangkan yang cewek berpakaian minimalis (maksudnya rok mini dengan atasan mini, hehe). Lalu, saya tanya kepada mereka “rapi-rapi bener, mau pada kemana luh?”. Mereka malah cengar-cengir gak jelas. Wah, dari gelagatnya pasti mereka pada mau pergi dugem. Ternyata benar, setelah saya korek-korek mereka mau  pergi ke club. Mereka bilang, “hey, you wanna join with us?”. Waduh, pertanyaan berat. “tonight is ladies night”, mereka menambahkan kalimat terakhir sebagai senjata ampuh untuk mengajak saya. Saya sempat berpikir sejenak. Kapan lagi bisa dugem apalagi di luar negeri yang pasti lebih heboh. “Ayok dah, gw ikut juga”, haha... Saya pun langsung mandi dan ganti pakaian, sholat Isya sebentar (nabung pahala sebelum berbuat dosa) lalu kembali ke ruang utama. Sewaktu berjalan turun dari tangga (letak dormitory saya di lantai 2) tiba-tiba saya baru ingat sekarang bulan Ramadhan. TENG TONG! Terjadilah pertentangan di dalam hati. Tapi, saya putuskan untuk membatalkan saja rencana buruk walaupun jarang-jarang juga bisa dugem bareng mereka (kenapa rencana buruk gw selalu gagal). Bulan Ramadhan adalah bulan terpenting dalam kalender Hijriyah. Saya rasa itu keputusan yang paling tepat.

Beli tiket monorail ke Sentosa Island
Dengan berat hati saya melepas kepergian mereka. Hostel pun jadi kosong melompong yang hanya menyisakan beberapa orang termasuk karyawan hostel. Beberapa orang yang tidak ikut pergi diantaranya 1 orang india. Saya tanya kenapa dia tidak pergi, dia bilang besok ada ujian jadi harus belajar. Wah, ternyata banyak juga penduduk Singapura yang tidak punya rumah dan harus tinggal di hostel. Lalu ada teman saya orang Taiwan. Kalau mereka sih sudah ketahuan dari tampang yang anak baik-baik, haha... Dan yang terakhir orang Azerbaijan. Dia baru check-in sore ini. Nah, kalau yang ini tampang-tampang ihkwan. Di hostel saja pakai kopiah khas arab mulu. Malam itu akhirnya saya banyak mengobrol dengan karyawan hostel sebelum dia pulang jam 10. Kemudian dilanjutkan dengan “santapan rohani” pengganti acara dugem dari orang Azerbaijan itu. Dia sangat kagum dengan Indonesia yang merupakan negara muslim terbesar di dunia dan keramah tamahan muslim Indonesia (weee...)

Esok paginya saya lihat teman-teman satu hostel sudah pada tepar. Buseeeng... kayaknya pesta tadi malam seru banget, nih, haha... (nyesel gak ikut :p). Pesawat saya terbang jam 8 malam. Jadi siangnya saya manfaatkan untuk jalan-jalan bersama Hannah dan kakaknya keliling kota Singapura. Sebelum jalan-jalan saya sudah packing takut ada barang yang tertinggal kalau packing terburu-buru. Dalam beberapa hari ini saya hampir mengujungi semua objek wisata di Singapura. Tidak terasa waktu liburan yang hampir satu bulan lamanya akan berakhir. Banyak teman-teman baru yang saya temui selama di perjalanan. Banyak juga pengalaman yang saya dapatkan dari Bangkok sampai ke Singapura. Saya telah berhasil menapaki anak-anak tangga impian yang akan mengantarkan saya lebih dekat dengan puncak obesesi terbesar saya. Patung Merlion menjadi saksi haru biru perasaan saya. Entah kalau tidak ada orang, saya mungkin akan menangis di hadapan patung aneh berbentuk singa separuh ikan itu. Pergi ke luar negeri yang sebelumnya tidak pernah terlintas, dapat saya wujudkan. Tidak hanya satu negara, bahkan saya berhasil melakoni perjalanan tiga negara sekaligus. Tidak hanya tiga hari atau seminggu tapi hampir satu bulan. Dan itu semua saya lakukan seorang diri. Sedikit orang yang berani mengambil resiko ke luar negeri pertama kali sendirian, tapi saya sudah melakukannya. Tanpa bekal kartu kredit. Tanpa uang melimpah. Semua hanya berawal dari kepercayaan kepada diri sendiri dan persiapan yang matang. Perjalanan ini telah mentransformasi saya menjadi individu yang baru. Sekarang sudah tidak ada lagi orang yang meragukan saya. Hebatnya lagi, banyak orang yang mengira saya sudah pergi ke berbagai negara padahal saya baru saja memulainya.

Saya menulis semua ini untuk membuktikan ada sebuah keajaiban bila kita sudah bertekad. Saya rasa kondisi teman-teman banyak yang lebih baik dari saya, oleh karena itu kalau saya bisa kenapa kalian tidak. Oh, ya saya masih belum menjawab bagaimana membedakan impian yang harus diperjuangkan dengan impian yang harus dilupakan. Pada dasarnya, semua impian harus diperjuangkan. Kalau ada orang yang mengatakan impian kita tidak rasional, mereka hanya tidak tahu saja alasan rasional dibalik keputusan kita. Saya lebih memilih menunda kelulusan sebab saya berpikir bila perjalanan backpacking saya lakukan setelah lulus kuliah dan mencari kerja dulu, tidak mungkin saya bisa backpacking dengan leluasa. Apalagi jatah cuti kantor paling banyak rata-rata hanya 14 hari dalam setahun. Itu pun harus ijin dengan birokrasi yang memakan waktu. Kata Suhu backpacker saya, mba Trinity: “waktu liburan terpanjang seumur hidup adalah saat kuliah”. Jadi saya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan keleluasaan waktu untuk mewujudkan impian saya itu. Kita backpacking keluar negeri bukan untuk buang-buang waktu dan uang, tapi wujud investasi terhadap pembentukan karakter pribadi kita menjadi lebih kuat, mandiri, kreatif, percaya diri yang dibentuk selama perjalanan. Itu juga belum ditambah dengan mendapat teman baru yang tidak ternilai harganya. Bisa saja kan, teman dari Prancis yang saya temui di Thailand mau membuat surat sponsor untuk berkunjung ke negaranya. Mungkin hal itu agak sedikit cerita “berbau” dongeng yang terlalu indah dalam dunia nyata. Tapi, tetap selalu ada kemungkinan seperti itu. Kalau tidak, terpaksa saya harus menapaki satu demi satu anak-anak tangga impian yang akan membawa saya ke depan altar suci Sorbonne.


Pesawat saya mendarat mulus menjelang tengah malam di terminal internasional, ups, maksudnya bandara internasional Soekarno-Hatta (maklum tuh bandara lebih mirip terminal, wkwkwk...). Saya ucapkan terima kasih untuk teman-teman saya: Farhandi yang menemani saya ke bandara, Pla yang menemani saya di Thailand, dan Sungsil yang menemani di Malaysia. Berkat mereka walau saya pergi sendiri, saya tidak merasa kesepian. Backpacking berikutnya akan lebih jauh ke utara dan lebih mendekati daratan Eropa: Makau dan Hong Kong.

Bugis



Singapore Botanical Garden

Universal Studio Singapore

Marina Bay

KBRI di Singapura
Jalanan Singapura yang lengang

2 komentar:

  1. wow.. mantap jalan2nya
    saya jg ada rencana ramadhan tahun ini ke SIN dan KUL solo traveller dan perdana pula dgn modal bhs inggris YES and NO serta sedikit nekat

    ya.. namanya impian yg mgkn baru bs kesampaian pd umur yg hpr kepala 4, semoga berjalan lancar. Amin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untuk jalan-jalan ke Singapura dan Malaysia, penguasaan bahasa inggris YES and NO sepertinya sudah cukup... haha...

      saya doakan semoga travelingnya lancar...
      tidak apa-apa terlambat, pak... selamat ya yang bakal merasakan udara luar negeri... hehe...

      Hapus